MULIANYA ENGKAU, MARBOT MASJID
Definisi Marbot Masjid
Sebagaimana yang saya
kutip dari Wikipedia, marbot adalah istilah yang diberikan kepada seseorang,
yang bertanggungjawab mengurus keperluan langgar/surau atau masjid. Terutama
berhubungan dengan kebersihan lingkungan tempat ibadah umat Islam tersebut. Adakalanya,
seorang marbot juga mengurusi hal-hal yang berurusan dengan ibadah, seperti:
adzan atau menjadi imam cadangan. Ada dua pendapat berbeda mengenai asal-usul
kata ‘marbot’. Pertama dari bahasa Sunda ‘marbot’ yang artinya tukang
bersih-bersih masjid, seperti: menyapu, mengepel, buang sampah, memukul bedug,
merapikan ini dan itu atau menjadi pesuruh untuk pengurus masjid, yang secara
struktual lebih tinggi daripadanya. Namun, sebahagian masjid ada juga yang
tidak mau menggunakan istilah ‘marbot’ bagi para pengurusnya. Dan menggantinya
dengan istilah ta’mir masjid atau pengurus masjid yang berfungsi untuk
memakmurkan masjid.
Sedangkan dalam bahasa
Arab, asal-usul kata marbot ialah ‘marbuuth’ yang artinya mengikat. Jadi,
marbot dalam bahasa Arab berarti terikat pada kegiatan ibadah dan khidmah
(membantu) di masjid. Seperti harus bertanggungjawab atas terselenggaranya
kegiatan shalat berjama’ah lima waktu. Maka, marbot umumnya tinggal di masjid
atau setidaknya memiliki rumah didekat masjid, guna memudahkan pekerjaannya.
Adapun marbot pertama dalam sejarah Islam, jika merujuk kepada ayat al-Qur’an,
maka nabi Ibrahim as dan nabi Ismail as lah yang pertama. Sebagaimana
firman-Nya dalam surah al-Baqarah ayat 125, yang berbunyi: “Dan telah Kami
perintahkan kepada Ibrahim dan Ismail: “Bersihkanlah rumahKu untuk orang-orang
yang thawaf, yang i’tikaf, yang ruku’ dan yang sujud”. ‘RumahKu’ yang
dimaksud dalam ayat ini ialah Masjidil Haram.
Profesinya Mulia, Tapi
Miskin Apresiasi
Profesinya mulia, tapi
miskin apresiasi. Profesinya dikenal banyak orang muslim yang sering ke mesjid.
Namun, profesinya itu tak pernah mengantarkannya ke istana negara, lagipun
kebanyakan mereka tidak mau. Padahal menurut saya, para marbot masjid atau penjaga
masjid adalah mereka yang paling setia dalam pengamalan Pancasila, khususnya
sila pertama yang berbunyi: “Ketuhanan yang Maha Esa”. Dengan menjadi
penanggung jawab atas segala bentuk ibadah di masjid. Mulai dari adzan lima
waktu (Subuh, Dzuhur, Ashar, Maghrib, Isya’, Subuh), menjadi imam, bahkan juga
terkadang menggantikan khatib yang berhalangan hadir. Seorang marbot juga
bertanggungjawab atas kebersihan dan kerapian masjid. Sehingga jama’ah
menjadi khusyu’ dalam beribadah kepada-Nya. Sungguh, alangkah mulianya
dikau!
Namun, kemuliaan suatu
pekerjaan, sebagaimana yang telah disebutkan di atas, terkadang tidak
berbanding lurus dengan gaji yang sepadan. Saya tak tahu pasti berapa
nominalnya, lagipun saya tak berani menyebutkan. Lantaran kebanyakan dari
mereka para marbot masjid enggan menyebut kata ‘gaji’, yang seolah mengurangi
kesan keihklasan mereka dalam bekerja. Biasanya ‘santunan’ kepada mereka amat
sangat bergantung pada sumbangan kotak amal dari para jama’ah. Namun
demikian, melihat pekerjaan mereka yang stand by 24 jam dalam mengurusi
segala kegiatan di masjid. Maka, sudah barang tentu gaji yang sepadan juga
sangat mereka harapkan. Apalagi, jika mereka memiliki tanggungan keluarga, yang
juga harus mereka nafkahi.
Memang mereka tidak akan
meminta atau sampai berdemo untuk menuntut hak-haknya. Namun, seharusnya kita
membuka mata, hati dan telinga untuk memahami kondisi mereka, dan bagaimana
jadinya jika masjid tanpa marbotnya? Oleh karena itu, saya pikir semua dari
kita, baik itu Majelis Ulama Indonesia (MUI), Kementerian Agama, Dewan Mesjid
Indonesia (DMI), para tokoh agama, serta umat Islam haruslah bertanggungjawab
dalam memakmurkan para marbot masjid. Jadi, bukan hanya masjidnya saja yang
perlu untuk dimakmukan, pengurusnya juga!
Terakhir, bagi saya para
marbot masjid adalah mereka-mereka yang ikhlas ber-’amal semata karena
Allah Ta’ala, sebagaimana bunyi penggalan kalimat berikut: “Al mukhlisu, man
yaktumu hasanaatihi kamaa yaktumu sayyi-aatihi” (Orang yang ikhlas itu
adalah orang yang menyembunyikan kebaikan-kebaikannya, seperti ia
menyembunyikan keburukan-keburukannya” (Yaqub Rahimahullah, Kitab Tazkiyatun
Nafs).
Terima kasih atas pencerahan ini, sangat membantu saya dlm pengertian masalahnya
BalasHapussama-sama. terima kasih banyak juga :)
Hapus