CERITA DARI TOKO BUKU

http://image-serve.hipwee.com

Yang paling dilema dari memiliki toko buku adalah ketika engkau melihat anak muda, yang membaca tapi tak kunjung membelinya. Pemilik toko buku itu tahu bahwa pemuda yang membaca buku-bukunya itu bukanlah orang yang berpunya. Kadang, istri pemilik toko buku itu kasihan juga melihat pemuda yang gemar membaca itu. Baik cerah hari maupun hujan deras, ataupun jalanan yang becek berat tidak menghalanginya untuk datang ke toko buku sepasang suami istri tersebut. Buku apapun dilahapnya, terutama buku-buku bertemakan kedokteran.
“Kalau begini terus kita bisa rugi, bu! Sengaja bapak tidak menyediakan bangku baca, biar anak-anak itu tidak cuma numpang membaca, tapi tidak membelinya! Bisa rugi kita, bu! Rugi!” keluh si bapak pemilik toko buku kepada bininya.
“Sudahlah, pak. Wes  ikhlaskan saja tho. Anggap saja sedekah di bulan ramadhan ya,” kulum senyum si istri mencoba menenangkan hati suaminya yang sedang dirundung gundah.
“Tidak bisa, bu! Tidak bisa! Mulai sekarang bapak akan buat pengumuman bahwa membaca atau bahkan membuka  buku berarti membeli!” pekik si suami lupa bahwa dia sedang berpuasa.
Keesokah harinya, pengumuman bernadakan ancaman itu pun ditempelkan di sekeliling ruangan toko bukunya.
Sejak saat diberlakukannya pengumumaan itu, si pemuda hanya bisa pasrah. Ia hanya berani menatap toko buku itu dari seberang jalan saja. Tatapan matanya kosong seolah menyiratkan kehilangan gairah hidup. Satu-satunya gairah hidupnya yaitu membaca. Hujan pun ikut turun dengan derasnya, seakan ikut menangisi nasib sial pemuda itu. rambutnya yang ikal basah, kemeja lusuhnya basah, celana jeans kumalnya basah, tas yang diselempangkannya di bahu kiri turut pula basah. Sama basahnya seperti matanya yang menolak sembab.
Ia melamun. Lama ia melamuni nasibnya. Sampai-sampai ia tersentak kaget ketika sebuah tangan menarik lengannya secara paksa. Tangan seorang ibu yang ia kenal sebagai istri empunya toko.
“Kamu mau sakit?! Di tengah-tengah hujan begini!” teriak si ibu seolah melawan kerasnya suara hujan. Tangan kanannya memegang gagang payung yang menaungi mereka dari hujan.
“Sekarang keringkan bajumu, biar kuambilkan baju bapak. Mungkin, ada yang muat denganmu,” ujar si ibu cepat yang langsung beranjak ke lantai atas. Di depan pemuda itu telah berdiri si bapak pemilik toko, tangannya memegang sebuah buku tebal berjudul “Anatomy”.     
“Ini buku yang ingin kau baca, kan? Bacalah,” kata si bapak yang berkaca mata tebal itu sambil menyerahkan bukunya.
“Tapi pak,.....,”
“Sudahlah nak, bapak minta maaf ya. Baca saja. Nanti jika sudah selesai kamu boleh pinjam yang lain,” si pemuda pun menerima buku tersebut dengan malu-malu.
Ibu pemilik toko yang baru turun dari lantai atas tersenyum melihat kejadian itu, sembari berujar, “Sudah, sudah ngobrolnya. Sebentar lagi mau buka ni, ayo sini bantu ibu menyiapkan bukaan,” perintah si ibu kepada si pemuda yang merekahkan bibirnya yang kering menjadi sebuah senyum simpul nan indah.
Namun ada satu hal yang paling menyenangkan hati segelintir pemilik toko buku. Yaitu ketika buku-bukunya pernah dibaca oleh orang-orang yang sukses karena pahitnya kerja keras, perjuangan tanpa kenal takluk dan yang terpenting tahu balas budi pada saatnya tiba. Sekian.
***
SAHUR ON THE ROAD
wp.hijup.com

Apa itu “Sahur On The Road”? Aku baru mengenal istilah itu di semester 5 ketika puasa tiba. Kawan Pramuka-ku yang mulanya mengajak untuk sahur on the road. Aku berpikir sahur on the road itu dapat diartikan seperti ini: Sahur artinya makan pada pukul tiga atau empat pagi dan berhenti ketika imsak. Berguna untuk menguatkan fisik, sebab keesokan harinya berpuasa. Ketika selesai sahur biasanya umat muslim mulai berniat, “Nawaitu sauma gadin ‘an adai fardhis syahri ramadhana hadzihis sanati lillahi ta’ala. Amin”. Dan, on the road artinya di atas jalanan. Maka dapatlah disimpulkan sahur on the road artinya sahur di jalanan.
Lantas, adikku yang paling kecil bertanya, “Berarti abang sahurnya di jalan samping pematang sawah. Terus gelar tikar ya?”. Aku pun menjawab, “Bukan, bukan seperti itu. lagipula tidak semua jalan di sampingnya ada pematang sawah. Abang juga ga gelar tikar, cuman pergi ke warung makan, terus makan deh”.
“O..............,” Adikku yang mungil ini pun ber-‘o’ panjang tanda mengerti.
Terus karena masih penasaran dengan sahur on the road-nya anak kost, maka dia bertanya lagi, “Berarti abang kayak pilem “Anak Jalanan Season 2” ya? Bawa sepeda motor gede bareng temen-temen. Terus kalo jumpa musuh berantem dulu, abis itu baru sahur bang ya?”.
“Ya ampun, adikku, manisku, cintaku. Kamu kayaknya terlalu banyak nonton sinetron deh. Jangan-jangan kalo kamu nonton “Tukang Bubur Naik Haji”, terus kamu nanyak ke abang, “Abang, abang. Tadi abang sahurnya makan bubur wak haji mana? Hehehe”. Adikku pun cuma mendelik-delikkan bulu matanya berulang-ulang.
Aku pun memeluknya,
“Yang pasti adikku. Kalo abang bisa pulang, abang pasti pengen banget pulang. Makan sahur sama Mama, Papa, Yuliza, Dhafid, dan kamu adikku Nanda. Walaupun di rumah kita sahurnya cuma pake nasi campur telor sama kuah Indomie. Tapi itu nikmaaaaaaaaaaat rasanya. Kau tahu kenapa, adikku? Jelas, karena kita makan sahur bersama.” ucapku penuh harap yang langsung melambungkan senyum tulus anak kecil yang tanpa dosa. The-end
***
PUASA KOSONG
pics.onsizzle.com

Satu alasan utama mengapa ibu tidak lagi membangunkan kami sahur, ialah karena ibunda gemas melihat tingkah kedua adikku. Dua saudara kembar yang putih-putih ini sangat sulit dibangunkan untuk makan sahur. Padahal, bapak, aku dan adikku nomor dua telah bangun dan duduk di meja makan. Kalau ibu membangunkan dua anak kecil ini, ibu diserang dilema. Antara harus membangunkan dan munculnya perasaan tidak tega. Ibu mengaku, “Kalo mama udah lihat pipi-pipi tembem Dhafid dan Nanda, aduh! Mama jadi ga tega ngebanguninnya. Kasihan mama”.
Tapi bagaimanapun, jika tidak sahur bisa berbahaya. Karena tidak akan sanggup berpuasa besok. Seret langkah kaki bapak pun terdengar menuju ke kamar, ikut membantu ibu membangunkan anaknya yang montok-montok itu, “Ayo bangun sayang, besok ga sanggup puasa lho?”.
Nanda yang masih berkelumun manja dengan selimut tebalnya pun berkata pelan sekali, nyaris tak terdengar, “Dedek beyom yapay”. Maksudnya “Adek belom lapar”. Sebab adikku itu belum bisa bilang ‘l’ dan ‘r’.
Mendengar lirihan anaknya itu ibunda jadi terenyuh, “Ya udah, besok anak mama puasa setengah hari aja yah,” sebuah kecupan manis ibunda pun ditempelkan ke dahi mungil anaknya tercinta, sembari memperbaiki posisi selimutnya.
Dhafid telah duduk lebih dulu di kursi makan. Tapi mata Dhafid masih layu walaupun sudah cuci muka. Ibu menyeduhkan teh hangat ke masing-masing kami. Ayah mulai memimpin do’a, dan kami pun makan sahur dengan lahapnya. Kecuali Dhafid yang terkantuk-kantuk berat beberapa kali, saat memasukkan nasi ke mulutnya. Yang cukup menjadi selingan tawa pada sahur kami.
“Mulai besok, ibu tak akan bangunkan sahur lagi. Tak tega ibu. Jadi mulai besok sebelum tidur, makan-minum dulu yang banyak.” Pungkas ibu.
***

Komentar

Postingan Populer