MAK MEUGANG (HOMESICK DAN INDAHNYA BERBAGI)
Di
Aceh, ada satu kebudayaan unik menjelang puasa, yaitu “Mak Meugang”. Aku juga
tidak begitu mafhum apa artinya. Tapi secara makna aku sangat paham. Yang
kupelajari dari sejarah-sejarah Raja Aceh silam, Mak Meugang dipergunakan
sebagai alat silaturrahmi sekaligus bersedekah kepada mereka yang kurang mampu. Biasanya
di hari Mak Meugang ibu dan bapakku sudah siap berkemas-kemas pasca shalat
subuh, guna menuju pasar tradisional. Tidak hanya bapak ibuku saja yang
subuh-subuh buta sudah keluar rumah mencari sekerat daging. Tapi tetanggaku
juga seluruh rakyat Aceh berpesta daging lembu hari itu.
Di
jalan tiada kudapati mobil berlalu lalang, paling ada sedikit sepeda motor,
lebih banyak lagi ibu-ibu pembeli yang berjalan kaki. Wajar saja, pasar-pasar
tradisional Aceh kala itu mendadak macet. Aceh memang bukan kota besar seperti
Medan apalagi Jakarta. Tapi di waktu-waktu tertentu, seperti hari besar
keagamaan juga hari H kebudayaan, seluruh penduduknya tumpah ruah ke jalan. Ketika
kutanya, “Ibunda, mengapa harus pagi-pagi buta ibunda membeli daging?”.
Ibundaku yang berisi tapi tetap mulus itu menjawab, “Anakku, disaat itulah
harga daging murah. Dan disaat itulah daging masih segar-segarnya. Kalau sudah
siang kita hanya mendapatkan sisa tulang-belulang saja. Mau?”. Tanya ibuku
sekedar bercanda. Aku pun menggelengkan kepala sembari tersenyum. Ibu mencium
dahiku yang lebar dan mulai bergegas mengambil keranjang belanjaannya itu.
Ketika
kutanya kepada teman-temanku yang lain pasal membeli daging di subuh hari.
Teman-temanku pun mengangguk mengiyakan pendapat ibuku. Ibuku
pintar sekali mengolah daging yang telah ada atau yang belakangan dibawa bapak
dari pasar tempatnya bekerja. Ibu bisa memasak gulai, rendang, masak merah,
masak putih, dibuatkan sop tulang. Semuanya ibu bisa. Ibu adalah koki terbaik
yang kami miliki. Mungkin ini alasan lain bapak dan kami begitu mencintai dan
menyayanginya. Bapak
sangat suka masak putih. Aku pribadi tidak suka, karena kadang masak putih
membuat aku nampak jelas darah yang masih melekat di daging. Mungkin karena
kurang bersih dicuci.
Yang
paling kusukai adalah rendang campur lontong bikinan ibu. Sangat pas di lidah
kami, anak-anaknya yang sesekali pulang dari rantau orang menuntut ilmu. Hanya
saja, ibu memasak lontong hanya di hari raya. Ibu bilang, “Masaknya itu anakku,
perlu waktu lama. Biar rasanya enak. Spesial di hari yang spesial”. Biasanya
ibu mengucapkan alasan itu sembari menyematkan senyum di wajahnya yang punya
lesung pipit. Ibu manis sekali kalau seperti itu. Adikku yang paling bongsor,
jika mendapatkan momen ini langsung memeluk tubuh ibunda yang subur dan
menghangatkan itu. Adikku yang paling kecil langsung membenamkan wajahnya di
perut ibunda yang memecahkan gelak tawa seisi ruangan. Adikku memang masih
terlalu kecil, hingga tingkah lakunya selalu mengundang tawa riang kami sekeluarga. Biasanya
ibu juga turut membagikan hasil olahannya itu kepada tetangga. Pokoknya di hari
itu Aceh sedang berbahagia. Tidak ada yang lapar, orang miskin fakir sekalipun
ikut mendapatkan jatah daging untuk diolah. Semua memakannya dengan lahap dan
penuh suka cita.
Happy Ramadhan Month
Miss you Mom, Dad, My
Young Sis, and My Young Bro.
Homesick T_T
Komentar
Posting Komentar