KEUTAMAAN MENJADI JOMBLO


Frasa kata “jomblo” kembali mencuat sejak Sandiaga Uno menggagas Kartu Jakarta Jomblo (KJJ), dan ta’aruf massal guna menjawab permintaan para jomblowers di ibukota untuk diperhatikan. Namun pertanyaannya, “Perlukah hal itu dilakukan?”. Musabab sampai saat ini wacana tersebut masih mengundang pro dan kontra di tengah masyarakat. Salah satu yang paling seru diberitakan media misalnya; soal ta’aruf massal di Ruang Publik Terpadu Ramah Anak (RPTRA) yang dipandang sebagian kalangan tidak tepat lokasi, program ini hanya mengakomodir satu agama (baca: Islam), juga dianggap tidak menyentuh permasalahn ibukota yang sesungguhnya.
Namun Sandi meyakini, langkahnya tersebut tepat dan memiliki goal yang jelas, yakni; ta’aruf massal bertujuan sebagai solusi bagi mereka yang belum memiliki pasangan hidup, sekaligus menambah kegiatan yang selama ini telah ada di RPTRA. Juga KJJ yang akan terintegrasi langsung dengan program One Kecamatan One Center for Enterpreneurship, atau yang lebih dikenal dengan OKE-OCE agar para jomblowan-jomblowati bisa memiliki usaha. Adapun hal yang perlu digarisbawahi ialah KJJ hanya berlaku selama enam bulan dengan masa perpanjang satu kali. Ini dimaksudkan untuk menepis isu miring yang menyebutkan, bahwa KJJ hanya akan memanjakan mereka yang berstatus jomblo.
Sejatinya, saya mendukung kedua program ini, karena sesuai dengan slogan mereka saat kampanye, yakni: “Maju Kotanya, Bahagia Warganya”. Karena saya pribadi adalah orang yang meyakini, bahwa ta’aruf adalah kegiatan mulia yang memperkenalkan dua keluarga, sebagai jembatan awal menuju pernikahan dan membangun mahligai rumah tangga. Bila anak dari dua keluarga itu setuju untuk menikah, maka perkenalan itu akan berlanjut. Sebaliknya, bila anak tersebut tidak setuju, maka ta’aruf tidak sampai ke jenjang pernikahan. Hanya saja saya merasa sedikit takut jika kemudian program ini gagal, dan kemudian menjadi bahan cemoohan dan meme lucu-lucuan oleh mereka yang dari awal memang bersebrangan dengan pasangan Anies-Sandi. Belakangan, berita terbaru yang saya kutip dari kumparan.com (9/5/2017) menyebutkan program pojok ta’aruf itu hanya guyonan belaka. Hal itu sebagaimana dikatakan oleh pasangannya, Anies Baswedan, “Enggak itu sih guyon saja”. Selain itu, Anies juga tidak terlalu menanggapi serius soal program KJJ yang juga dilontarkan Sandi.


Jomblo Dalam Perspektif Islam
Lantas, bagaimana sejatinya Islam menyikapi permasalahan jomblo?
Dalam perspektif ajaran agama Islam, menjadi jomblo merupakan sebuah kemuliaan, sekaligus wujud nyata dari ketaatan seorang hamba kepada Rabb-nya daripada melakukan perbuatan keji seperti maksiat. Musabab dalam Islam mengajarkan penganutnya untuk menjalin suatu hubungan yang resmi dan dibalut dengan syar’i, serta telah dipersiapkan segala sesuatunya dengan matang, seperti; mempersiapkan ilmu, mental, jasmani, rohani dan terlebih-lebih ekonomi guna memenuhi kebutuhan sehari-hari nantinya.
Islam sangat tegas melarang dua insan berlainan jenis berkhalwat (berpacaran). Bukan karena Islam itu kolot dan ketinggalan zaman. Bukan! Melainkan Islam ingin menciptakan suatu tatanan kehidupan masyarakat, yang pemuda-pemudinya saling menjaga harkat dan martabat diri masing-masing. Because the future lies with the young (Masa depan suatu bangsa terletak di tangan pemuda). Oleh karena itu, Islam memberikan solusi dengan menghalalkan pernikahan dan melarang perzinahan dalam bentuk apapun, serta apapun yang mendekatinya. Sebagaimana firman Allah dalam al-Qur’an surah al-Isra’: 32 yang berbunyi, “Dan janganlah kamu sekalian mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah perbuatan keji dan jalan yang buruk”.


Cinta Itu Anugerah
Tulisan ini bukan berarti menganggap cinta itu sebagai virus yang berbahaya, melainkan Islam tetap berpatokan, bahwa cinta adalah anugerah yang diturunkan oleh Allah SWT untuk menyatukan yang jauh dan menyambung tali silaturahmi yang penuh dengan kedamaian. Hanya saja, Islam menjadikan nikah sebagai solusi yang tepat untuk meredakan hawa nafsu ketimbang berpacaran. Sebagaimana sabda Baginda Rasulullah SAW, “Wahai para pemuda, barangsiapa diantara kamu sekalian yang telah mampu, maka menikahlah, karena sesuangguhnya menikah itu dapat menundukkan pandangan dan memelihara kemaluan. Dan barangsiapa yang belum mampu menikah, maka berpuasalah, karena dengan berpuasa dapat menjadi penghalang untuk melawan nafsu” (H.R.  Bukhari, Muslim, Ibnu Majah dan At-Tirmidzi). Tentunya tidak mudah memang untuk meninggalkan kata “pacaran”, sebab predikat “jomblo” telah berubah menjadi suatu hal yang amat-sangat menakutkan bagi kita. Padahal, di zaman edan ini jomblo itu prinsip bukan nasib. Bukankah seorang yang dinamakan hamba wajib patuh kepada apa yang dititahkan oleh Tuhannya?
Wahai Muhammad, katakanlah kepada orang iman laki-laki, supaya mereka memejamkan pandangannya dan menjaga kemaluannya, karena yang demikian itu lebih suci” (Q.S. An-Nur: 30).
Adapun, keutamaan daripada menjadi jomblo, diantaranya: 1)Terhindar dari berbagai bentuk maksiat, 2) Lebih khusu’ dalam beribadah, 3) Lebih menyehatkan tubuh, 4) Bisa lebih menghemat pengeluaran, 5) Pikiran lebih tenang, 6) Tidak menghabiskan waktu percuma, 7) Mengurangi air mata karena galau atau putus, 8) Lebih mandiri, 9) Lebih fokus dalam bertanggung jawab kepada diri sendiri, 10) Bebas bergaul dengan siapa saja, 11) Memiliki banyak ruang dan waktu untuk meningkatkan kualitas diri.

Persoalan maraknya umat Islam terutama muda-mudinya yang berpacaran, maka hal itu sejatinya berpulang kepada diri mereka masing-masing. Sebab Tuhan tidak menilai seorang hamba dari cantik paras atau kekayaan hartanya, melainkan seberapa takwa mereka kepada titah-titah-Nya. Dan bermula takwa itu adalah takut, takut itu adalah ta’at dan ta’at itu adalah menjalankan segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-larangan-Nya. Wallahu ‘alam bish shawab.[]

Komentar

Postingan Populer