ISLAM BUKAN AGAMA WARISAN


Menggunakan Nama Samaran

Publik pun kembali dibuat heboh dengan Facebook milik Afi Nihaya Faradila, yang digadang-gadang sebagai pemudi kritis lewat status-statusnya. Sebagaimana diberitakan, akun pribadinya tersebut sempat diblokir hampir 24 jam oleh Facebook. “Tolong, Darurat. Akun saya atas nama Afi Nihaya Faradisa telah disuspend, ditangguhkan oleh Facebook. Diduga akun saya telah direport, dilaporkan secara bersamaan oleh orang-orang yang tidak menyukai apa yang saya tulis di situ. Selama ini akun itu memang saya gunakan untuk menebar perdamaian dan pesan-pesan positif kepada para pembaca tulisan saya. Akun itu sudah viral, memiliki jangkauan yang luas, serta terdapat 270 ribu followers disana sehingga efektif untuk digunakan sebagai sarana untuk misi perdamaian Indonesia yang sejak lama saya usahakan,” demikian yang ditulis oleh remaja tersebut di akun Instagramnya, ia mencoba meminta pertolongan pada netizen bagaimana memulihkan akunnya tersebut.

Tapi sekarang telah bisa dibuka kembali. Afi lantas membuat postingan baru berjudul “Siapakah Afi Nihaya Faradisa?”. Di tulisan itu, ia mengaku “Afi” hanyalah nama anagram, sedangkan nama aslinya ialah Asa Firda Inayah sebagaimana tertera di identitasnya. Ia pun membeberkan alasannya menggunakan nama anagram tersebut di akun medsosnya, “Mengapa saya menggunakan nama anagram? Karena saya ingin menyampaikan kebaikan-kebaikan secara anonim di dunia. Karena yang penting bagi saya bukanlah mengambil sebanyak mungkin keuntungan dan melambungnya nama. Karena yang penting bagi saya adalah tersampainya beragam pesan kebaikan pada sebanyak-banyaknya pembaca,” sebagaimana dikutip dari Kumparan.com.  

Ya, mulia sekali niat gadis berjilbab ini, di zaman serba pamrih ia memilih menjadi anonymus, dan menyebarkan pesan-pesan kebajikan lewat kata-katanya yang mengalir. Tak hanya itu, ia pun mengungkapkan rasa terimakasih kepada teman dan pengikut akun Facebook-nya yang meramaikan tagar #FACEBOOKbringback AFI. Ya, pemudi seperti Afi harus terus diberikan semangat untuk terus menulis, mengasah kemampuan berpikir kritisnya, dan menyebarkan benih-benih cinta damai. Jangan dikerengkeng!

Kita harus salut dengan pemudi yang mau menghabiskan waktunya untuk berpikir berbagai solusi untuk menyelesaikan permasalahan agama, nusa dan bangsa. Sebagai seorang muslim, ia telah berjuang untuk menyampaikan pesan-pesan Allah akan kedamaian dalam Islam seperti; “Untukmu agamamu, dan untukkulah agamaku (QS. Al-Kafirun: 6), dan “Tidak ada paksaan dalam memeluk agama. Sungguh telah jelas antara kebenaran dan kesesatan” (QS. Al-Baqarah: 256).  Selain itu, ia lebih produktif dengan menulis ketimbang para remaja lain yang terlena dengan hal-hal yang kurang bermanfaat.

Apa Arti Agama Tanpa ‘Aqidah?


Sebagaimana diberitakan, gadis remaja dari Banyuwangi ini kerap mengunggah status yang lahir dari buah pemikirannya yang tajam. Afi si penulis toleransi dikenal luas lewat unggahannya yang berjudul “WARISAN”. Namun, apakah semua agama itu warisan? Sebagai seorang muslim, saya punya tanggungjawab untuk meluruskan, bahwa agama Islam bukanlah agama warisan. Islam bukanlah agama warisan, ia sangat menghargai akal, berorientasi dalil dan bukan hanya doktrin-doktrin semata. Saya pribadi takut, tulisan semacam ini bakal mengombang-ambingkan iman dan ‘aqidah seseorang. Apalagi pemuda alias remaja muslim kini begitu gampang terdegradasi oleh keadaan. Jika ‘aqidah mereka rapuh, maka dapat dipastikan mereka bakal jauh dari nilai-nilai agama. Hal ini bisa saja terjadi, jika kedepannya semakin banyak tulisan-tulisan yang seolah menyuarakan, “KAMI MENGANUT AGAMA ITU KERANA DATUK NENEK MEREKA BERAGAMA ISLAM. Lantaran menurutnya agama hanyalah warisan. Kenapa tidak sekalian dimuseumkan saja?. Roslan Mahamed, Pensyarah Kanan, Jabatan Dakwah dan Pembangunan Ihsan, Akademi Pengajian Islam, Universiti Malaya pernah berkata, “Generasi hari ini berdepan dengan pelbagai cabaran merosakkan ‘aqidah umat Islam sendiri”. Padahal, sungguh, “Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai oleh Allah daripada mukmin yang lemah” (HR. Muslim). Musabab, untuk apa berilmu tapi tak beriman. Pincang!

Memang, tidak ada yang bisa menjamin seseorang menjadi Muslim, Yahudi atau Nashrani jika merunut kepada trah keluarga. Namun, bukan berarti tidak ada jaminan seorang Nashrani menjadi Muslim, Muslim menjadi Nashrani, atau Yahudi menjadi Atheis. Sebab, semuanya bergantung kepada dirinya sendiri untuk memilih jalan hidupnya. Tidak lantas karena ia dilahirkan dari suatu keluarga beragama tertentu, maka ia tidak bisa bebas memilih agama apapun, yang menurutnya sesuai dan cocok dengan logika dan rasa hati. Musabab agama yang menjadikan pemeluknya pasif bukanlah agama, melainkan doktrin ataupun dogma yang menihilkan korbannya untuk mendapatkan kebenarannya sendiri. “Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah (Islam), maka kedua orangtuanya lah yang menjadikannya Yahudi, Nashrani atau Majusi” (HR. Al-Bhukari & Muslim).

Jika pun agama hanyalah sebuah warisan orangtua yang tidak dapat diganggu gugat. Maka, agama hanyalah predikat atau identitas semu yang tercantum di setiap KTP. Agama dalam konteks ini hanya menjadi semacam pelengkap dalam kehidupan di negara bertuhan. Lantas, untuk apa dalam agama ada kata-kata “Hidayah, Syahadat, Ikrar dan Keyakinan serta ‘Aqidah?” Untuk apa? Jika semua itu hanyalah semu dan terpaksa lantaran warisan dari ayah bunda semata, maka buang saja agama, karena tak kau yakini sepenuhnya, dan hanya kau anggap sebagai sekat yang meniadakan toleransi. Padahal sejatinya, agama bukan malah menghambat manusia untuk bertoleransi, melainkan mendukungnya dengan batasan-batasan tertentu.

Islam mengenal pluralitas bukan pluralisme. Sebagian orang salah paham dalam memahami ini dan terjebak dalam pemahaman pluralisme agama, yaitu bahwa semua agama itu benar, dan Islam bukanlah agama yang paling benar. Lantas, kalau begitu peluk juga agama yang lain karena semua agama adalah sama, atau buang saja semuanya karena toh tak ada yang paling benar. Islam sangat mengenal toleransi, namun bukan berarti toleransi yang membabibuta. Sehingga, kedepannya Islam hanya dianggap sebagai sebuah agama yang tidak boleh makan babi dan anjing, sedangkan yang lainnya sah-sah saja. Tidak! Toleransi Islam bukanlah yang seperti itu. Islam mengatur segala aspek dalam kehidupan umatnya, baik vertikal maupun horizontal. Allah juga bisa saja menjadikan setiap orang beragama Muslim atau Nashrani atau Hindu atau Buddha atau Yahudi. Hanya saja, Allah ingin menguji hamba-Nya, “Apakah perbedaan itu akan menjadikan mereka saling kenal-mengenal tanpa harus menggadaikan ‘aqidah-nya atas nama toleransi!”. Apalah arti punya agama, jika tidak meyakini ‘aqidah yang dipeluknya? Buang saja!

Saatnya Menjadi Muslim Yang Kaffah


Jika agama hanya warisan, maka seorang muslim tidak perlu shalat, karena toh ia tidak meyakini ajaran agamanya, melainkan terpaksa hanya karena warisan semata. padahal didalam QS. Al-‘Ankabut: 29-45, Allah SWT berfirman: “Dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari perbuatan keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (mengerjakan shalat) adalah lebih besar keutamaannya dari ibadah lain”. Namun, apa guna kita sembahyang dan memohon do’a kepada Allah supaya ditunjukkan jalan yang benar, 17 kali sehari seperti dibaca dalam surah Al-Fatihah? Jika kita sendiri bahkan tidak yakin dengan agama yang kita anut, dan hanya menganggapnya sebagai warisan semata. Islam bukanlah agama warisan atau keturunan suatu suku, ras dan antar-golongan. Islam adalah agama Allah yang diturunkan ke muka bumi sebagai pedoman hidup muslim dan mereka yang mempercayainya. Agama mengajarkan tuntunan mengenai pentingnya prinsip dan sikap hidup. Bukan sekedar warisan, warisan dan warisan semata. Terdapat banyak nilai yang tergantung dalam tuntunan agama agar hidup kita menjadi lebih baik, sekalipun tiada manusia yang paripurna. Oleh karena itu, kita perlu kembali ke jalan yang diredai Allah supaya kehidupan kita sejahtera di dunia dan akhirat. Amin Ya Rabb.

Tampaknya Afi, adikku yang kritis ini perlu membaca tulisan dibawah ini, yang abang kutip dari VOA ISLAM, berikut:

Benarkah Agama Sekedar Warisan, Tanpa Kita Bisa Memilih?
Oleh: Rina Yusrina

Jika agama sekedar warisan, maka Nabi dan Rasul tak perlu
berdakwah
jika agama sekedar warisan...
Maka Nabi Ibrahim AS tidak perlu bersusah payah
Menentang ayah yang dicintainya
Dan merelakan raja Namruz membakar tubuhnya sebagai
bentuk penolakan pada agama warisannya.

Jika agama sekedar warisan.....
Maka Nabi Musa AS tidak perlu bersusah payah.
Menentang Firaun, toh beliau dibesarkan di istananya dan
dapat begitu saja menikmati warisan kekuasaannya
Beliau pun tak perlu bertarung dengan para tentara
Dan tukang sihir hingga dikejar ke laut merah

Dan sekali lagi,
Jika agama sekedar warisan.......
Maka kota Mekkah adalah surga bagi Nabiyullah
Muhammad SAW
Berikut tawaran harta, tahta dan wanita.
Tapi tidak......
Nabi Muhammad bin Abdullah memilih berjuang
berhadapan dengan paman-paman dan kaumnya
Rela diboikot dan nyaris dibunuh hingga akhirnya hijrah ke
Madinah.

Karena sejatinya, agama bukan sekedar warisan......
Agama adalah fitrah
Maka dia pasti akan menuntun pada kebenaran
Bukan sekedar menerima tanpa proses berpikir
hingga mampu memecahkan pertanyaan besar dalam
hidup tentang dari mana, akan kemana dan untuk apa dia
hidup
Jawaban pertanyaan yang benar inilah yang akan
Mengantarkan manusia untuk memilih agama yang
terasa dengan fitrahnya.
Jadi tolong jangan sembunyi di balik toleransi dan
membiarkan kejahiliyahan tetap menguasai diri.

Beragama adalah pilihan
Memilih agama yang benar atau salah juga adalah pilihan
Berdakwah adalah pilihan sebagaimana membangkang juga adalah pilihan
Menjadi muslim ataupun kafir adalah pilihan
Dan sungguh setiap pilihan perbuatan manusia akan
Dihisab dan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah SWT
kelak

Jadi masih mau bilang agama itu sekedar warisan?
Sebaiknya kita menepi untuk berpikir lebih jernih.
Wallahu ‘alam. (riafariana/voa-islam.com)


Terakhir, jangan sampai kita tidak mempertimbangkan murka Allah, karena kita sebagai muslim telah kehilangan jati diri kita demi sebuah frasa “Toleransi”. Na’udzubillahi min dzalik! Semoga Allah selalu mengiringi langkah kita.      

Komentar

Postingan Populer