MENYOAL SERUAN MENAG
Baru-baru ini, Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin mengimbau para tokoh
agama, pengelola rumah ibadah, dan masyarakat untuk mengimplementasikan seruan
Menteri Agama tentang sembilan butir panduan penceramah agama yang dikeluarkan
Jum’at (28/4). Sembilan butir tersebut diantaranya: 1)Penceramah memiliki
pemahaman dan komitmen pada tujuan utama diturunkannya agama, yakni melindungi
harkat dan martabat kemanusiaan serta menjaga kelangsungan hidup dan perdamaian
umat manusia. 2)Penyampaian berdasarkan pengetahuan keagamaan yang memadai dan
bersumber dari ajaran pokok agama. 3)Disampaikan dalam kalimat yang baik dan
santun. Terbebas dari umpatan, makian, dan ujaran kebencian. 4)Bernuansa
mendidik, pencerahan yang meliputi spiritual, intelektual, emosional, dan
multikultural. Materi diutamakan berupa nasihat, motivasi, dan pengetahuan yang
mengarah pada kebaikan. 5)Materi yang disampaikan tak bertentangan dengan empat
konsensus bangsa Indonesia, yaitu Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka
Tunggal Ika. 6)Materi yang disampaikan tidak mempertentangkan unsur SARA.
7)Materi tidak bermuatan penghinaan, penodaan dan atau pelecehan terhadap
pandangan keyakinan dan praktik ibadah antar/dalam umat beragama serta tidak
mengandung provokasi. 8)Materi yang disampaikan tidak bermuatan kampanye
politik praktis dan atau promosi bisnis. 9)Tunduk pada ketentuan hukum yang
berlaku terkait dengan penyiaran keagamaan dan penggunaan rumah ibadah.
Untuk sembilan butir tersebut, saya pribadi setuju karena memang bersumber
dan berdasarkan al-Qur’an dan al-Hadist. Misalkan pada butir keempat soal
mutikultural, sejatinya sudah lama terdapat dalam al-Qur’an surah Al-Kaafiroon
ayat 1-6 yang berbunyi: Katakanlah: “Hai orang-orang kafir, Aku tidak akan
menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah.
Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah, dan kamu tidak
pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. Untukmu agamamu, dan
untukkulah, agamaku”. Ataupun pada surah al-Baqara ayat 256 yang berbunyi: Tidak
ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam sesungguhnya telah jelas jalan yang
benar daripada jalan yang sesat. Oleh karena itu, saya secara pribadi
setuju dengan seruan Menag. Hanya saja saya berharap ke sembilan butir ini
tidak hanya ditujukan kepada da’i-da’i Islam tapi juga kepada para pendeta di
gereja, biksu di vihara dan pemuka-pemuka agama lain agar lebih adil dan fair.
Jadi tidak terkesan menyinggung satu agama (baca: Islam) saja. Musabab menurut
saya jika kita ingin adil nuansa SARA tidak hanya diciptakan dari mimbar-mibar
Islam, tapi juga tentu dapat berasal daripada agama-agama non-Islam. Lagipun,
jika kita merujuk kepada ceramah dr. Zakir Naik, maka akan kita dapati
pernyataan, bahwa yang perlu ditindak ialah oknum-oknum yang mengatasnamakan
Islam untuk berlaku jahat. Padahal, jika kita ingin menunjuk sesuatu agama itu
jahat, lanjut dr.Zakir Naik, bukanlah dari orangnya, tetapi tentu dari ajaran
agamanya yang tertuang dalam al-Qur’an dan al-Hadist. Saya kira ini baru
benar-benar adil. Sayang, propaganda media barat dan sekuler secara tidak
langsung telah menempatkan Islam sebagai ancaman dan sumber teror. Amat sangat
disayangkan, dan tentu perlu adanya upaya klarifikasi dari berbagai pihak.
Selain itu, walaupun setuju, saya tetap kurang sreg dengan butir
nomor delapan tentang politik dan agama. Saya pikir sebagai penganut Islam,
agama saya telah mengatur bagaimana tatacara muslim dalam berpolitik, termasuk
dalam hal memilih pemimpin. Saya pikir hal itu sah-sah saja selama berdasarkan
agama yang diyakini dan bersifat pribadi. Salah satunya ialah ajaran agama saya
untuk tidak memilih pemimpin kafir, yang tertuang dalam surah al-Maidah ayat 51
yang berbunyi: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil
orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin (mu sebahagian mereka
adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa diantara kamu mengambil
mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka.
Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.
Maka, jika saya mengamini ajaran ini, maka sah-sah saja, sebab ini adalah
kepercayaan saya yang diakui dan dilindungi oleh undang-undang dan negara
Indonesia. Apalagi, saya mengamalkannya dalam lingkup pribadi dan tidak
menggunakannya sebagai alat provokasi. Maka daripada itu, dapat saya simpulkan
bahwa agama tidaklah bersebrangan dengan politik. Sehingga tidak perlulah ada
rasa takut apalagi cemas dengan keberadaan agama dalam suatu kontestasi
politik.
Selebihnya, butir-butir tersebut saya pikir cukup dikontrol melalui diri
pribadi para penceramah saja. Sehingga tidak perlulah ada polisi yang mengawasi
pelaksanaannya sebagaimana yang sudah-sudah saat Indonesia dikepung isu
teroisme dulu. Hal ini saya maksudkan agar tidak ada umat (terkhusus Islam)
yang sakit hati dengan perlakuan ‘khusus’ seperti itu. Sebab saya tekankan
sekali lagi, bahwa agama ini (baca: Islam) dari namanya saja sudah bermakna
damai, jadi tidak akan pernah ada benih-benih permusuhan didalamnya, kecuali
ada oknum-oknum tertentu yang melakukan. InsyaAllah negeri ini akan dilanda
damai dan bukan malah terpecah-belah sebagaimana yang sudah-sudah.
Mendapat Dukungan MUI
Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebagai representasi suara umat Islam di
Indonesia, juga telah mendukung seruan Menag, Lukman Hakim Saifuddin tentang
aturan untuk penceramah agama. Sebagaimana saya kutip dari mediaindonesia.com,
Wakil Ketua MUI Zainut Tauhid Saadi dalam keterangan tertulisnya mendukung
langkah yang dilakukan Menteri Agama dengan sembilan butir panduan untuk
penceramah agama. Menurutnya, ceramah agama harus bisa membawa umat manusia
kepada solidaritas, membangun kerjasama, dan mewujudkan peradaban masyarakat
yang harmonis, maju, beradab, dan sejahtera. Kalau menurut istilah saya, semoga
seruan ini dapat menjadikan negeri kita sebagaimana negeri Saba’ yang baldatun
thayyibatun wa rabbun ghaffur.
Komentar
Posting Komentar