KISAH 2 SAHABAT

                                                                     http://static.republika.co.id

+ Mengapa kau menatapku seperti itu?
= Sebab aku menyukai bacaan Qur’anmu 
+ Bacaan Qur’anku tidak terlalu bagus, suaraku juga serak-serak basah. Ibuku bilang gara-gara aku doyan minum es.
= Tapi aku suka penghayatanmu 
+ Yang kutahu saat membaca Qur’an aku merasa tenang. Hatiku merasa lapang. Kadang ingin pula aku menjadi hafidz. Ingin kuhadiahkan surga untuk bapak dan ibuku kelak.
= Mulia sekali hatimu, sudah berapa juz yang kau hafal?
+ Dulu ketika di pesantren aku sempat menghafal 3 juz. Terdiri dari juz 1, 29, dan 30. Tapi sekarang rada-rada lupa, karena aku jarang mengulangnya.
= Mungkin karena engkau sedikit sibuk dengan perkara dunia, iya kan?
+ Ya, mungkin aku terlalu menurutinya. Tapi puasa kali ini aku mau menajamkan lagi hafalanku. Aku takut kalau sudah tua malah tak bisa lagi.
= Ide bagus. Hmmm maukah kamu mengajarkanku bacaan Qur’an? Jujur aku masih tertatih ibarat kambing mendaki gunung. Maukah?
+ Dengan senang hati, semoga ini mengalirkan pahala untukku dan keluargaku. Kita mulai menjelang buka ya di rumahku 

= Alhamdulillah, terima kasih sahabatku 
***
DEAR GALILEI GALILEO
                                                                             http://1.bp.blogspot.com

Suamiku, apa kabarmu? Semoga puasa kali ini kita diberikan kesehatan serta umur yang panjang. Bagaimana puasamu hari ini? Awas! Jangan ada yang bolong ya, hehehe..
Bulan puasa kali ini tampaknya aku belum bisa pulang. Aku masih harus merevisi laporan akhir disertasiku. Do’akan cepat selesai ya, sayang.
Aku tahu kita sama-sama kesepian di bulan puasa ini. Aku kehilangan suamiku yang biasa membangunkanku sahur. Dan engkau pasti kehilanganku yang biasa menyiapkan buka puasa serta sahurmu.
Tak apa Galilei Galileo, suamiku. Sebentar lagi kita bakal bertemu kok. Oya aku lupa, suamiku. Buka puasa nanti kamu beli nasi dan lauk-pauknya saja. Jangan memaksakan dirimu memasak ya! hehehe. Dan sahur nanti, jangan coba-coba makan mie instan campur nasi! Nanti kamu bisa kanker otak, hihihi.
Dari istrimu yang cerewet, tapi mencintaimu setulusnya 
***
PERANGAI
                                                                                http://static.inilah.com

Aku tidak mengerti dengan pola pikir istriku ini. Disaat aku sudah memesan tiket untuk bersama pulang ke kampung halaman. Ia malah tidak menyetujuinya. Aku pun harus membatalkan tiga tiket keberangkatan. Tiket istriku, dan kedua putriku.
Belakangan aku tahu, bahwa istriku berjumpa dengan lelaki yang menggoyahkan hatinya. mereka berjumpa di gang dekat rumahku dan aku memergokinya. Tapi apa dayaku sebagai seorang suami. Haruskah aku memaki-maki istriku. Kupikir ini bagian dari bumbu-bumbu rumah tangga, yang siapapun kadang merasainya. Aku pun cenderung mendiamkan saja. Sampai pesawat yang kunaiki memisahkanku dengan keluarga yang amat kucinta.
Di kampung halaman, aku dicemooh seperti belum berbini saja. Tapi aku tidak peduli, kadang kuhubungi juga mereka disana. Menanyakan kabar anak-anak dan ibunya. Sempat kutanya lewat telepon, “Kapan dik, kita berpuasa bersama di kampung halaman?”. Istriku pun menjawab, “Jika anak-anak sudah libur sekolah, pasti akan pulang”. Dan aku pun menunggu saatnya datang waktu itu.
Kudengar dari tetanggaku disana, anak bungsuku kini sering bertanya, “Dimana Bapak, bu? Dan ibunya menjawab, “Bapak di kampung, nanti kita menyusulnya”. “Kapan kita menyusulnya, bu?” tanya si kecil semakin penasaran. Si ibu menjawab diplomatis, “Tunggu saja waktunya, sayang”.
Dari tetanggaku yang kupercayai melihat-lihat keadaan rumah tanggaku disana menyatakan, “Anak-anakmu merindui bapaknya, tapi ibunya aku tak tahu. Pernah kujumpai dia bersama pacar barunya. Makan bersama di mall saat jam sekolah, seperti pasangan muda-mudi saja!”. Aku di ujung telepon hanya bisa mengurut-urut dada, dan melafadzkan do’a dalam batin, “Ya Allah, ini bulan sucimu. Perkenankan do’aku. Ampunkan kesilapan istriku. Kumohon kepada-Mu, perjumpakanlah kami sekeluarga dalam satu meja. Amin.” Dengusku mengeluarkan nafas panjangnya yang berat.
Sebentar lagi bedug surau akan ditabuh, dan sahut-menyahut lantunan azan akan terdengar. Ibu dan bapakku yang telah renta sudah duduk di meja. Namun jujur aku merindui istriku melayaniku saat buka puasa. Tanpa kehadiran putri-putriku yang lincah, suasana di kampung halaman ini sepi saja.
Hingga terdengar suara, “Bapak! Bapak! Kami datang!”. Suara-suara putriku mengagetkan lamunanku. Aku langsung tersenyum sumringah!. Putri-putriku yang lucu langsung berlari berhambur memelukku. Putri bungsuku langsung memeluk pinggangku dan mendekapkan wajah mungilnya di dadaku yang bidang. Sedangkan, anak sulungku bersimpuh di kaki kananku dan mengecupnya tiada henti.
Aku tidak menyadari istriku telah berdiri di depan pintu dan wajahnya bersimbah tangis. Pecah tangis istriku memenuhi rumah orangtuaku yang berbahan kayu lapuk dimakan usia. Disela-sela sesenggukannya dia berkata lirih, “Meninggalkanmu merupakan kesalahan terbesar bagiku. Maafkan aku suamiku, maafkan aku”. Aku pun menghampirinya dan menciumi tengkuknya yang wangi dan kemudian berujar, “Sudahlah istriku, suamimu telah memaafkanmu sedari dulu. Ayo kita buka puasa bersama. Hapus air matamu, jangan biarkan anak-anak kita melihatnya. Ayo, bapak dan ibu sudah tak sabar ingin berbuka bersama menantunya yang jelita ini”.
Sang istri tersenyum dan mereka pun berbuka dengan lahapnya.
***
PONGAH
                                                                               http://cdn.klimg.com

Melakukan shalat subuh berjamaah seolah-olah merupakan hal yang paling berat bagi pemuda ini. menurutnya, shalat berjamaah di mesjid membuatnya tidak sekhusyuk shalat sendiri di rumah. Padahal, dia tamatan pesantren. Enam tahun menimba ilmu agama!
Ibunya berkali-kali mengingatkan bahwa shalat berjamaah hukumnya fardhu ‘ain bagi laki-laki. Pemuda itu malah membantah ibunya dengan berkata, “Tapi abang tidak khusyuk shalat di mesjid. Yang abang lihat hanya keriyaan dan rasa pamer dalam beribadah!”. Namun alasan itu dibungkam ibunya dengan teriakan, “Dasar anak setan! Shalat di mesjid kok tidak khusyuk!”.
Kadang-kadang perkelahian itu merembes kepada ujaran pemuda itu seperti, “Lho, ibu sendiri kok tidak shalat berjamaah?”. Sang ibu sambil memegang telenan dengan suara memekik pun menjawab, “Lha, perempuan tidak wajib ke mesjid. Yang wajib ke mesjid tu laki-laki! Perempuan lebih baik shalat di rumah!’. Dan pertempuran antara laki-laki dan perempuan itu pun tiada ujungnya.
Tapi jika pemuda itu diajak bapaknya ke mesjid, pemuda itu mau juga menurutinya. Bukan apa-apa. Tetapi karena pemuda itu memang takut dengan bapaknya. Tetangga sebelah sampai-sampai memberikan statement, “Bapak si kawan itu garang punya!”. Sembari tetangga itu memperagakan gaya khas memelintir kumis dan berkacak pinggang ala bapak si pemuda!
Pernah seusai shalat di mesjid, diadakanlah ceramah agama oleh seorang ulama terkenal setempat. Sontak! Si pemuda tersebut keluar dari mesjid dan memilih duduk di tangga masuk mesjid yang bejibun nyamuknya!
Melihat tingkah polah anak sulungnya itu, si bapak pun ikut keluar mencari anaknya “Apa musabab kau keluar ketika ceramah agama! Disitu kau bisa tanyak atau dengar saja apa yang tak kau pahami. Dapat pahala!” gerutu si bapak jengkel.
“Bukan begitu, pak. Abang tadi niatnya cuma shalat di mesjid. Bukan dengar ceramah!” bantah si pemuda lantang.
“PLAKKK!!!” sebuah tempeleng keras bapaknya mendarat di telinga pemuda itu, yang membuatnya berdengung lama. Yang merahnya tampak cukup menyadarkan si pemuda dari sikap kekurangajarannya.
Keesokah harinya, si bapak tak lagi mengajak anak pertamanya itu. Si ibu malah miris melihat fenomena bapak-anak ini sebagai pertanda si bapak tak lagi peduli. Bisa berabe!
Hingga yang bisa dilakukan ibunya yang subur dan lunak hatinya itu hanyalah berdoa saja. Berdoa saban hari memintakan dibukanya pintu hidayah di dada anak lelakinya yang gersang itu.
“Semoga abang tahu, shalat itu berguna bagi abang sendiri nantinya. Syukur-syukur dapat merembeskan pahala ke orangtua. Jangan sampai kami disiksa karena lupa mengingatkannya,” keluh si ibu berbicara sendiri sambil mengelap meja makan untuk berbuka puasa sebentar lagi. Yang tak sengaja pula didengarkan oleh si pemuda. Semoga dapat menyadarkannya. Amin. 

Komentar

Postingan Populer