KISAH 2 SAHABAT
+
Mengapa kau menatapku seperti itu?
=
Sebab aku menyukai bacaan Qur’anmu
+
Bacaan Qur’anku tidak terlalu bagus, suaraku juga serak-serak basah. Ibuku
bilang gara-gara aku doyan minum es.
=
Tapi aku suka penghayatanmu
+
Yang kutahu saat membaca Qur’an aku merasa tenang. Hatiku merasa lapang. Kadang
ingin pula aku menjadi hafidz. Ingin kuhadiahkan surga untuk bapak dan ibuku
kelak.
=
Mulia sekali hatimu, sudah berapa juz yang kau hafal?
+
Dulu ketika di pesantren aku sempat menghafal 3 juz. Terdiri dari juz 1, 29,
dan 30. Tapi sekarang rada-rada lupa, karena aku jarang mengulangnya.
=
Mungkin karena engkau sedikit sibuk dengan perkara dunia, iya kan?
+
Ya, mungkin aku terlalu menurutinya. Tapi puasa kali ini aku mau menajamkan
lagi hafalanku. Aku takut kalau sudah tua malah tak bisa lagi.
=
Ide bagus. Hmmm maukah kamu
mengajarkanku bacaan Qur’an? Jujur aku masih tertatih ibarat kambing mendaki
gunung. Maukah?
+
Dengan senang hati, semoga ini mengalirkan pahala untukku dan keluargaku. Kita
mulai menjelang buka ya di rumahku
=
Alhamdulillah, terima kasih sahabatku
***
DEAR GALILEI GALILEO
Suamiku,
apa kabarmu? Semoga puasa kali ini kita diberikan kesehatan serta umur yang
panjang. Bagaimana puasamu hari ini? Awas! Jangan ada yang bolong ya, hehehe..
Bulan
puasa kali ini tampaknya aku belum bisa pulang. Aku masih harus merevisi
laporan akhir disertasiku. Do’akan cepat selesai ya, sayang.
Aku
tahu kita sama-sama kesepian di bulan puasa ini. Aku kehilangan suamiku yang
biasa membangunkanku sahur. Dan engkau pasti kehilanganku yang biasa menyiapkan
buka puasa serta sahurmu.
Tak
apa Galilei Galileo, suamiku. Sebentar lagi kita bakal bertemu kok. Oya aku
lupa, suamiku. Buka puasa nanti kamu beli nasi dan lauk-pauknya saja. Jangan
memaksakan dirimu memasak ya! hehehe. Dan sahur nanti, jangan coba-coba makan
mie instan campur nasi! Nanti kamu bisa kanker otak, hihihi.
Dari
istrimu yang cerewet, tapi mencintaimu setulusnya
***
PERANGAI
Aku
tidak mengerti dengan pola pikir istriku ini. Disaat aku sudah memesan tiket
untuk bersama pulang ke kampung halaman. Ia malah tidak menyetujuinya. Aku pun
harus membatalkan tiga tiket keberangkatan. Tiket istriku, dan kedua putriku.
Belakangan
aku tahu, bahwa istriku berjumpa dengan lelaki yang menggoyahkan hatinya.
mereka berjumpa di gang dekat rumahku dan aku memergokinya. Tapi apa dayaku
sebagai seorang suami. Haruskah aku memaki-maki istriku. Kupikir ini bagian
dari bumbu-bumbu rumah tangga, yang siapapun kadang merasainya. Aku pun
cenderung mendiamkan saja. Sampai pesawat yang kunaiki memisahkanku dengan
keluarga yang amat kucinta.
Di
kampung halaman, aku dicemooh seperti belum berbini saja. Tapi aku tidak
peduli, kadang kuhubungi juga mereka disana. Menanyakan kabar anak-anak dan
ibunya. Sempat kutanya lewat telepon, “Kapan dik, kita berpuasa bersama di
kampung halaman?”. Istriku pun menjawab, “Jika anak-anak sudah libur sekolah,
pasti akan pulang”. Dan aku pun menunggu saatnya datang waktu itu.
Kudengar
dari tetanggaku disana, anak bungsuku kini sering bertanya, “Dimana Bapak, bu?
Dan ibunya menjawab, “Bapak di kampung, nanti kita menyusulnya”. “Kapan kita
menyusulnya, bu?” tanya si kecil semakin penasaran. Si ibu menjawab diplomatis,
“Tunggu saja waktunya, sayang”.
Dari
tetanggaku yang kupercayai melihat-lihat keadaan rumah tanggaku disana
menyatakan, “Anak-anakmu merindui bapaknya, tapi ibunya aku tak tahu. Pernah
kujumpai dia bersama pacar barunya. Makan bersama di mall saat jam sekolah, seperti pasangan muda-mudi saja!”. Aku di
ujung telepon hanya bisa mengurut-urut dada, dan melafadzkan do’a dalam batin,
“Ya Allah, ini bulan sucimu. Perkenankan do’aku. Ampunkan kesilapan istriku.
Kumohon kepada-Mu, perjumpakanlah kami sekeluarga dalam satu meja. Amin.”
Dengusku mengeluarkan nafas panjangnya yang berat.
Sebentar
lagi bedug surau akan ditabuh, dan sahut-menyahut lantunan azan akan terdengar.
Ibu dan bapakku yang telah renta sudah duduk di meja. Namun jujur aku merindui
istriku melayaniku saat buka puasa. Tanpa kehadiran putri-putriku yang lincah,
suasana di kampung halaman ini sepi saja.
Hingga
terdengar suara, “Bapak! Bapak! Kami datang!”. Suara-suara putriku mengagetkan
lamunanku. Aku langsung tersenyum sumringah!. Putri-putriku yang lucu langsung
berlari berhambur memelukku. Putri bungsuku langsung memeluk pinggangku dan
mendekapkan wajah mungilnya di dadaku yang bidang. Sedangkan, anak sulungku
bersimpuh di kaki kananku dan mengecupnya tiada henti.
Aku
tidak menyadari istriku telah berdiri di depan pintu dan wajahnya bersimbah
tangis. Pecah tangis istriku memenuhi rumah orangtuaku yang berbahan kayu lapuk
dimakan usia. Disela-sela sesenggukannya dia berkata lirih, “Meninggalkanmu
merupakan kesalahan terbesar bagiku. Maafkan aku suamiku, maafkan aku”. Aku pun
menghampirinya dan menciumi tengkuknya yang wangi dan kemudian berujar,
“Sudahlah istriku, suamimu telah memaafkanmu sedari dulu. Ayo kita buka puasa
bersama. Hapus air matamu, jangan biarkan anak-anak kita melihatnya. Ayo, bapak
dan ibu sudah tak sabar ingin berbuka bersama menantunya yang jelita ini”.
Sang
istri tersenyum dan mereka pun berbuka dengan lahapnya.
***
PONGAH
Melakukan
shalat subuh berjamaah seolah-olah merupakan hal yang paling berat bagi pemuda
ini. menurutnya, shalat berjamaah di mesjid membuatnya tidak sekhusyuk shalat
sendiri di rumah. Padahal, dia tamatan pesantren. Enam tahun menimba ilmu
agama!
Ibunya
berkali-kali mengingatkan bahwa shalat berjamaah hukumnya fardhu ‘ain bagi laki-laki. Pemuda itu malah membantah ibunya
dengan berkata, “Tapi abang tidak khusyuk shalat di mesjid. Yang abang lihat
hanya keriyaan dan rasa pamer dalam beribadah!”. Namun alasan itu dibungkam
ibunya dengan teriakan, “Dasar anak setan! Shalat di mesjid kok tidak
khusyuk!”.
Kadang-kadang
perkelahian itu merembes kepada ujaran pemuda itu seperti, “Lho, ibu sendiri kok tidak shalat berjamaah?”. Sang ibu sambil memegang telenan
dengan suara memekik pun menjawab, “Lha,
perempuan tidak wajib ke mesjid. Yang wajib ke mesjid tu laki-laki! Perempuan lebih baik shalat di rumah!’. Dan
pertempuran antara laki-laki dan perempuan itu pun tiada ujungnya.
Tapi
jika pemuda itu diajak bapaknya ke mesjid, pemuda itu mau juga menurutinya.
Bukan apa-apa. Tetapi karena pemuda itu memang takut dengan bapaknya. Tetangga
sebelah sampai-sampai memberikan statement,
“Bapak si kawan itu garang punya!”. Sembari tetangga itu memperagakan gaya khas
memelintir kumis dan berkacak pinggang ala bapak si pemuda!
Pernah
seusai shalat di mesjid, diadakanlah ceramah agama oleh seorang ulama terkenal
setempat. Sontak! Si pemuda tersebut keluar dari mesjid dan memilih duduk di
tangga masuk mesjid yang bejibun
nyamuknya!
Melihat
tingkah polah anak sulungnya itu, si bapak pun ikut keluar mencari anaknya “Apa
musabab kau keluar ketika ceramah agama! Disitu kau bisa tanyak atau dengar saja apa yang tak kau pahami. Dapat pahala!”
gerutu si bapak jengkel.
“Bukan
begitu, pak. Abang tadi niatnya cuma shalat di mesjid. Bukan dengar ceramah!”
bantah si pemuda lantang.
“PLAKKK!!!”
sebuah tempeleng keras bapaknya mendarat di telinga pemuda itu, yang membuatnya
berdengung lama. Yang merahnya tampak cukup menyadarkan si pemuda dari sikap
kekurangajarannya.
Keesokah
harinya, si bapak tak lagi mengajak anak pertamanya itu. Si ibu malah miris
melihat fenomena bapak-anak ini sebagai pertanda si bapak tak lagi peduli. Bisa
berabe!
Hingga
yang bisa dilakukan ibunya yang subur dan lunak hatinya itu hanyalah berdoa
saja. Berdoa saban hari memintakan dibukanya pintu hidayah di dada anak
lelakinya yang gersang itu.
“Semoga
abang tahu, shalat itu berguna bagi abang sendiri nantinya. Syukur-syukur dapat
merembeskan pahala ke orangtua. Jangan sampai kami disiksa karena lupa
mengingatkannya,” keluh si ibu berbicara sendiri sambil mengelap meja makan
untuk berbuka puasa sebentar lagi. Yang tak sengaja pula didengarkan oleh si
pemuda. Semoga dapat menyadarkannya. Amin.
Komentar
Posting Komentar