FAKTOR KEKALAHAN AHOK-DJAROT
Ada banyak pakar memang, yang berspekulasi terkait dengan
kekalahan Ahok-Djarot yang tidak bisa diterima, terutama oleh para
pendukungnya. Bahkan, ada beberapa isu yang coba kembali digelontorkan oleh
para pendukung dan timsesnya untuk dapat melakukan pemilihan ulang, dan
menganggap kemenangan Anies-Sandi ialah karena ketimbang untung semata dari
sentimen agama yang tengah menjerat Ahok. Saya pribadi tidak mau membahas
masalah itu, sebab pada tulisan kali ini saya hanya akan merangkum beberapa faktor
kekalahan Ahok-Djarot yang dikultuskan sebagai dewa oleh para pendukungnya itu.
Faktor-faktor ini saya coba rangkum dari beberapa literasi media yang saya
baca, diantaranya:
1. Ahok dilema antara menjadi dirinya sendiri yang blak-blakkan dan
dikenal tegas, tiba-tiba berubah menjadi sosok santun yang berusaha berbicara
dengan lembut. Alhasil, Ahok tidak menjadi dirinya sendiri yang selama ini
dikenal oleh warga Jakarta bahkan oleh seluruh masyarakat Indonesia yang
mengikuti setiap pemberitaannya di berbagai media selama memimpin Jakarta.
Akhirnya, Ahok tidak menjalankan narasi yang telah digodok timsesnya untuk
tetap menjadi diri sendiri. Ahok lebih memilih menjadi begitu santun yang
mungkin dapat menguntungkannya di putaran kedua ini. Padahal, kata santun dan
sopan telah lebih dulu menjadi jualannya Anies. Sekali lagi, Ahok dilema antara
tetap menjadi dirinya dulu yang fenomenal dan kontroversial atau berubah santun
yang telah lama menjadi senjata pamungkas Bang Anies-Sandi.
2. Kurangnya Blusukan. Sayang, padahal masyarakat Indonesia mulai mengenal istilah blusukan
sejak era kepemimpinan Jokowi-Ahok dan Ahok-Djarot. Tapi belakangan, terutama
di putaran kedua hal itu mulai minim dilakukan. Mungkin ini diibaratkan semacam
buah simalakama. Pasca kasus penistaan agama Almaidah: 51, warga Jakarta yang
mayoritas muslim mulai sedikit banyak membencinya. Hal itu lah yang kemudian
ditakutkan oleh Ahok dan timsesnya untuk turun ke darat. Mereka takut kampanye
darat mereka akan gagal. Alhasil, wakilnya Djarot Saiful Hidayat yang lebih
diandalkan untuk tetap turun ke jalan dan menggantikannya.
3. Memilih Kampanye lewat medsos. Musabab itu Ahok pun banting stir memilih eksis berkampanye lewat
media sosial. Padahal, tidak semua pengguna medsos ialah warga Jakarta, bisa
saja netizennya ialah robot atau penduduk dari luar Jakarta yang memang nge-fans
Ahok. Alhasil target segmentasi awal bertujuan kepada warga muda di DKI Jakarta
menjadi bias. Warga DKI yang awam dan tak melek media pun bakal tak tersentuh
dengan model kampanye semacam ini. “Ahok
Show” adalah salah satu strategi itu guna menjaring suara
kaum muda di DKI yang memang gadget holic.
4. Pendukung fanatik juga turut ambil andil dalam membuat Ahok-Djarot terjerembab pada
putaran kedua. Ahok oleh mereka dikultuskan bak seorang nabi yang tanpa cacat
cela. Bahkan mereka terlalu ofensif terhadap kritikan yang dilayangkan kepada
pujaannya itu. Padahal, kritikan tersebut dapat digunakan sebagai evaluasi atas
kekurangan yang ada pada diri Ahok guna menjadikannya lebih baik.
Faktor-faktor inilah yang memberikan keuntungan langsung ataupun tidak
langsung kepada pasangan Anies-Sandi. Alhasil, paslon ini bertransformasi
menjadi melting pot, tempat berkumpulnya para anti-Ahok dan pendamba
gubernur baru. Namun, bukan berarti Bang Anies-Sandi hanya beruntung dalam
konteks ini. Bukan! Karena sejak lama mantan mendikbud dan pengusaha ini telah
mewacanakan sistem pemerintahan, yang lebih santun dan menekankan kebersamaan
dalam membangun Jakarta yang lebih baik. Kekompakan tim paslon nomor urut 3 ini
juga turut menjadi pemicu kemenangan. Bagaimana tidak? Gerakan tim Anies-Sandi,
termasuk tim dari partai pendukung pada pekan-pekan terakhir begitu masif dan
efektif. Salah satunya yang paling terkenal di media sosial seperti Instagram
ialah “Baca Tweet Jahat”. Dalam “Baca Tweet Jahat”
biasanya mencoba menampik dan menangkal isu-isu negatif atau kampaye hitam (black
campaign) yang menyerang Anies-Sandi.
Alhamdulillah,
pesta demokrasi pun telah berakhir, semoga seusai ini tak ada lagi fitnah
melalui pemberitaan hoax (palsu), tak ada lagi benci, kubu-kubuan,
apalagi dendam yang mengarah kepada upaya destruktif. Sebab pada akhirnya
pemilukada yang telah usai ini memberi ruang kembali untuk kita untuk sama-sama
membangun Jakarta, untuk sama-sama membangun demokrasi di Indonesia yang lebih
baik. Mari sama-sama kita tetap menjaga surat suara, yang mewakili amanat warga
Jakarta dengan cara terus mengawasinya. Walaupun kami bukan warga Jakarta,
namun kami meyakini bahwa Jakarta adalah rumah kita, yang harus kita jaga
bersama dari segala bentuk intervensi. Agar demokrasi yang berjalan disana
tetap bijak bestari.
Komentar
Posting Komentar