KARMA

Aku terlahir dari sebuah kampung nan jauh di mato. Orang-orang kota sok pintar tanpa alasan menyebut daerah kami sebagai daerah penghasil ganja terbaik di negeri ini. Tapi jujur, aku benci dengan julukan yang tak patut dibanggakan itu. Ketika aku terlahir ke dunia ini dan membuka mata aku telah berkacamata. Dokter yang membidani kelahiranku berkata pada ibu, “Penglihatan anakmu sangat lemah, ia membutuhkan sebuah kacamata”. Tentu ibu membutuhkan banyak uang untuk mendapatkan benda itu. Sedangkan ibu hanyalah buruh cuci-gosok baju tetangga, bahkan sesekali membantu tukang bangunan menyusun bata untuk tetap dapat menghidupiku. Adapun ayahku tak jelas kemana rimbanya berada. Ibu berkata, “Bapakmu sudah diambil Tuhan”. Sedangkan Bapakku versi para tetanggaku yang bergosip menyebutkan, “Bapak anak itu telah mati ditembus timah panas oleh tentara nasional, karena membangkang dan ikut gerakan mendirikan negeri berdikari yang terlarang. Kasian!”. Alhasil, aku tak tahu versi siapakah yang benar. Tapi yang pasti, aku dapat memiliki kacamata ini berkat budi baik dokter tersebut. Ia memberikan ini cuma-cuma. Walaupun mulanya ibuku menolak untuk dikasihani, akhirnya ia menerima.

Pernah sangking laparnya aku dulu, aku nekat memanjat pagar rumah orang kaya, yang punya ladang sawit berhektar-hektar. Aku masuk ke halamannya dan menerobos masuk ke dapur untuk mencuri beberapa buah roti. Satu teman baikku berjaga di luar pagar, “Aku berjaga disini, kalau ada yang datang akan kuberi kau tanda!”. Akhirnya aku berhasil mengambil beberapa buah roti untuk mengganjal perut kami yang teramat sakit seperti dililit usus. Walaupun aksi kami hampir ketahuan, kami berhasil kabur. Sepulang ke rumah dengan perut sedikit kenyang, aku melihat ibu sedang merebus batu dengan mulutnya tak berhenti komat-kamit memohon sesuatu, “Ya Tuhan, apa yang harus kuberikan untuk anakku?”. Matanya sembab, aku terharu. Susah benar hidupku kala itu, Ya Rabb.
***
Musabab hidup kami yang susah, aku mulai sering mencuri untuk makan. Ibu tak pernah tahu aksiku itu. Dimatanya aku adalah anak baik, penurut dan tak banyak tingkah. Sampai akhirnya di umurku yang ke-17 tahun aku mulai berteman dengan beberapa bandit kampung. Pekerjaan mereka tak jauh berbeda dengan bandit kota, seperti: memasok minuman keras, menyuplai ganja yang ditanam dekat-dekat sawit, dan menyelundupkan narkoba yang datang dari negeri jiran. Bahkan, bos yang mempekerjakan kami sudah kami anggap seperti bapak kami sendiri. Di lingkungan kami yang miskin dan terbelakang ini kami hanya meyakini satu hal, “Kami butuh uang untuk hidup, dan ini cara yang paling ampuh untuk merubah nasib kami, anak-anak kampung yang tertinggal dan terbelakang!”. Sejak saat itu aku didaulat untuk memata-matai pergerakan polisi yang melakukan razia. Aku bertugas memberi tanda-tanda sinyalemen bahaya yang hanya kami para bandit kampung saja yang tahu. Sesekali aku juga dipercaya untuk menjadi kurir memasok narkoba ke beberapa daerah di negeri ini. Aksiku tak pernah sekalipun kecolongan, dan bos semakin bangga kepadaku sebagai anak buahnya. Klop sudah aku menjadi bagian dari bisnis haram ini. Usiaku kini telah menginjak dewasa dan ibu belum tahu aku anggota dari sindikat penjahat kelas kakap sampai beliau menghembuskan nafas terakhirnya. Semasa hidupnya ibu diharuskan sibuk bekerja sana-sini untuk menghidupiku anak semata wayangnya. Lingkunganku yang keras dan kerontang secara tidak langsung telah mengajariku, “Tak ada agama yang lebih besar daripada bisnis!”.
***
Kebiasaan itu mulai sedikit berubah saat aku mulai mengenal dia, perempuan cantik selain daripada uang tentunya yang dapat meluluhkan hatiku. Perjumpaan kami pertama kali berlaku saat aku dan temanku tengah bermain bola. Merayakan minuman alkohol dan sabu kami yang laku keras, bahkan aku telah memiliki bisnisku sendiri di pasar gelap ini. Bola yang aku tendang melambung ke atap rumah gadis itu, “Pak, saya mau mengambil bola, maaf,” ucapku. Bapaknya adalah tentara, musuh bebuyutanku sedari kecil. Entah kenapa alasannya aku tak tahu. Mungkin karena ada rumor tetangga yang mengabarkan bapakku mati karena ditembus peluru mereka ke jantungnya.
Kala itu, seolah aku tak peduli lagi dengan bisnisku yang sedang maju pesat. Aku hanya bergairah pada setiap bagian dari dirinya; hidungnya yang mancung Arab, senyumnya yang manis, bibirnya yang delima, matanya yang bulat ingin tahu, rambutnya yang pirang jagung sedikit ikal, dan tubuhnya yang sintal. Semua itu terus menari-nari erotis di benakku. “Kau lebih kucandu ketimbang apa yang kuperdagangkan selama ini,” bisikku dalam hati. Pernah sesekali kami bermain layang-layang di atas atap rumahnya, berdua saja. Tanpa boleh ada satu orang pun yang mengganggu.
Kami pun menikah. Namun, semenjak menikah usahaku mulai banyak menjumpai masalah. Kau mulai banyak bertanya, “Apa sebenarnya yang abang kerjakan selama ini? Darimana uang-uang ini abang dapatkan? Kenapa abang ga mau jujur sama adek?”. Aku sampai bingung harus memulainya dari mana, “Haruskah kuceritakan semuanya dari awal lagi?”. Aku pun menceritakan semuanya, semuanya dari masa kecilku yang sulit hingga kini sukses dan meminangnya. Ia hanya diam, bisu dan mata bulatnya menyiratkan kesedihan, marah sekaligus takut mengetahui suaminya menjalankan bisnis haram. Polisi mulai banyak mengatur siasat, sehingga beberapa pasokanku juga berhasil digagalkan polisi dalam operasi gabungan bersama para tentara. “Tengik! Padahal beberapa dari mereka telah kuberi makan! Untung saja mereka belum berhasil melacakku sebagai otak pelaku, walaupun aku pasti telah dicurigai! Aku tak boleh abis akal!”.
Untuk menjeratku sebagai pelaku yang dicurigai Polisi, aku mulai dijebak dengan berbagai cara. Aku mulai dijebak melalui istriku, teman-temanku, bahkan bosku dulu yang telah kuanggap sebagai ayah. Seolah seluruh moncong senapan diarahkan ke wajahku. “Aku tak boleh abis akal!” desisku. Aku pun gelap mata. Kubunuh semuanya tanpa ampun. Teman-teman yang mengkhianatiku, bosku dulu beserta anak buahnya. Semuanya kubabat habis karena tindakan mereka jelas menjegal bisnis dan membahayakanku! Kecuali satu, istriku yang tidak kucabut nyawanya. Aku cinta dia, dia yang telah melahirkan anak untukku lewat benih yang kutanam kuat di liangnya. “Sampai mati aku cinta kamu, istriku yang telah resmi menjadikanku seorang ayah”.
***
Kini aku galau dan dilema serta membutuhkan sandaranmu untuk rehat sejenak. Rehat sejenak dari semua ini; intimidasi, persaingan tak sehat, pembunuhan, pengkhianatan dan pengejaran polisi tanpa henti. Aku lelah, aku ingin menangis di pelukanmu, merengek seperti anak bayi atau merintih menyesali masa silamku yang menjadikanku buron seperti ini. Akhirnya, aku ditangkap di kediamanku, sebuah villa megah yang kubangun di atas tanah para endatu yang orang kota sebut penghasil ganja terbaik. Mereka menangkap dan memasukkanku ke dalam mobil tahanan. Lewat jerujinya yang bersekat kaca aku bisa melihat istri dan anak semata wayangku menangis sesenggukan. Yang kupikirkan saat itu hanyalah, “Siapa yang akan menghidupi anak dan istri bandar narkoba ternama?”. Saat itu aku baru menyadari bahwa bisnis tidak lebih besar dari agama, Tuhan, karma, dan kebahagiaan dari keluarga yang kita cinta. Namun, filosofi kampungku yang menyebutkan “Tak ada agama yang lebih besar daripada bisnis!” itu tidak sepenuhnya salah. Filosofi itu ada untuk menguatkan kami, orang-orang dari kampung tertinggal dan terbelakang agar kami mau bangkit dari kemiskinan dan kemelaratan yang kami derita selama ini. Melawan itu semua dengan usaha, usaha dan bisnis. Karena meratap dan berdoa saja tidak akan mengubah semuanya menjadi lebih baik. Hanya saja memang kuakui jalan yang kupilih bersama orang-orang terdahulu di kampungku salah dan keliru. Aku ditembak mati di ladang ganjaku sendiri yang berhektar-hektar luasnya...........

Komentar

Postingan Populer