KEBERPIHAKAN MEDIA
Lain berita lain pula isi pemberitaannya. Mungkin, karena lima
faktor yang mempengaruhi konten suatu berita. Seperti kata Shoemaker dan De
Reese, kelima faktor itu adalah: 1) Individual pekerja/wartawan, 2) Rutinitas
media, 3) Organisasi media, 4) Ekstra media, dan 5) Ideological. Sama
seperti halnya masalah pemilihan Gubernur-Wakil Gubernur di Jakarta. Harian
Waspada cenderung ngotot dalam tajuk rencananya agar pemerintah segera
membui Ahok dan semoga Anies-Sandi menang. Lewat judul: “Ketum MUI (Jangan) Melemah,
Umat Islam (Jangan) Terpecah” di edisi 1 April 2017 seolah menyiratkan bahwa
umat Islam seharusnya tidaklah terkotak-kotak dalam hal memilih pemimpin.
Apalagi, selama ini persaudaraan antar muslim diibaratkan satu tubuh; “Jika
satu tubuh merasakan sakit, maka tubuh yang lain turut merasakan pula”.
Adapun kata-kata lainnya seperti: “Kalau sikap tokoh dan ulama kita
tegas tidak mendukung calon yang menista Al-Qur’an dan ulama, maka besarnya
jumlah massa dalam aksi 313 meyakinkan kita pasangan Anies-Sandi akan
mengalahkan Ahok-Djarot. Intisarinya, sikap Waspada dalam tajuk rencananya
jelas, yakni “Penjarakan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok)”, dan hal ini tentu akui
tak diakui bakal memenangkan pasangan calon nomor urut 3. Sebagai sebuah sikap,
jelas media cetak sekelas Waspada tidak salah dan harus dihargai sebagaimana
Editorial Media Indonesia yang gemar membela Ahok cs atas nama pluralisme dan
rasionalitas. Juga patut dihargai.
Alhasil, media telah menambah riuh suasana pilkada pada tahun ini.
media telah menjadi tameng, sumber data dan rujukan salah satu pendukung
paslon. Mereka yang kontra-Ahok akan terus-menerus membaca Waspada, Republika
dan akan semakin tersulut emosinya musabab Ahok tak kunjung dicopot dan
dipenjara. Mereka yang pro-Ahok akan menonton Metro TV dan membaca Media
Indonesia, serta beranggapan mereka mencerdaskan pemilih dan menjadikan pemilih
rasional untuk memilih pemimpin berdasarkan kinerja, kinerja dan kinerja. Media
sejak dulu kala memang telah menjadi corong penguasa, namun sekarang tampak
semakin kentara. Tidak hanya agama, isu politis memang merupakan isu yang
terlalu sensitif dan dapat memicu pertengkaran maupun keributan sosial, dan
bakal menciptakan kubu-kubu. Tampaknya, media juga telah berkontribusi dalam
hal ini.
Menurut Eriyanto (2004: 24), media memberikan simbol-simbol
tertentu pada peristiwa dan aktor yang terlibat dalam beritaa. Pemberitaan
simbol tersebut akan menentukan bagaimana peristiwa dipahami, siapa yang
dilihat sebagai pahlawan dan siapa yang dilihat sebagai musuh. Media bukan
mengutip apa adanya apa yang dikatakan oleh sumber berita, ia juga memahami dan
menyeleksi ucapan dan menambah dengan berbagai ungkapan atau kata-kata yang
ditampilkan semua ungkapan, kata itu memberikan citra tertentu ketika diterima
oleh khalayak. Menurut Goffman, manusia pada dasarnya secara aktif
mengklasifikasikan dan mengkategorisasikan pengalaman hidup ini agar mempunyai
arti, dan manusia berusaha memberi penafsiran atas perilaku tersebut agar
bermakna dan berarti. Sebagai akibatnya tindakan manusia sangat bergantung pada
frame atau skema interpretsi dari seseorang.
Komentar
Posting Komentar