WAYANG MALAM ITU
Lengkingan merdu
suara pesinden diiringi musik dari gamelan mengawali prolog sang dalang malam
ini. Aku duduk dengan mulut ternganga dan hati berdecak kagum, karena ini kali pertama
menonton wayang. Tidak dari televisi ataupun dalam kemasan modern sekalipun,
benar-benar original, musabab itu aku terkagum-kagum sampai seolah-olah aku
terlempar ke zaman tempo dulu. Ya, wayang adalah seni pertunjukan asli
Indonesia yang berkembang pesat di Pulau Jawa dan Bali, serta sedikit-banyak
luntur di beberapa daerah transmigran yang didominasi oleh etnis Jawa. Secara
umum wayang mengambil cerita dari naskah Mahabharata dan Ramayana, tetapi tak
dibatasi hanya dengan pakem tersebut. Sang dalang bisa memainkannya dengan
sedikit gubahan terkait dengan situasi dan kondisi yang sedang hangat
diperbincangkan oleh masyarakat. Hal ini pernah dilakukan oleh Sunan Kalijaga,
yang menggubah wayang sebagai media dakwah, untuk mengajak masyarakat pada waktu
itu untuk ber-’amar ma’ruf nahi munkar.
Walaupun aku bukan
etnis Jawa dan satu-satunya peranakan Aceh yang ikut mengisi bangku penonton,
aku tetap bangga dan respect dengan salah satu budaya asli Indonesia ini.
Karena menurutku, wayang terutama wayang kulit yang kutonton bukanlah suatu
kesenian yang gampang untuk dipelajari, melainkan membutuhkan
kesungguh-sungguhan yang teramat sangat, serta tidak mengenal kata “menyerah”
dalam mempelajarinya. Malam itu, aku menyaksikan sang dalang begitu heboh
memainkan tokoh-tokohnya dengan piawai. Bak sutradara, malam itu dalanglah yang
menentukan nasib dari para lakon yang dimainkannya. Para hadirin dibuat
penasaran sekaligus terkesima. Dalang memainkan wayang kulit itu di balik
kelir, yaitu layar yang terbuat dari kain putih, sementara di belakangnya
disorotkan lampu listrik, sehingga para penonton yang berada di sisi lain dari
layar dapat melihat bayangan wayang yang jatuh ke kelir.
Selain itu, aku tidak
mau berbohong, aku jatuh cinta dengan paras salah seorang pesinden yang
menyanyikan tembang-tembang. Malam itu ia begitu ayu, dengan balutan kebaya
yang menutupi tubuhnya yang sintal dan padat. Hehehe. Bukannya aku nakal, tapi
matanya malam itu begitu manja seolah menggoda aku, yang tak paham apa-apa
untuk ikut merapalkan mantra-mantra kehidupan dari bibirnya yang ingin sekali
kukecup dan kubawa pulang. Aku jatuh cinta.
Jujur pula, malam itu
aku memang tidak mengerti apapun yang dirapalkan oleh sang dalang. Yang
kutangkap di telingaku, tiba-tiba penonton tertawa, tiba-tiba penonton
terkesima dan suasana membisu, serta tiba-tiba ada dari penonton yang nyeletuk
aksi salah satu lakon dan disambut oleh gelak tawa. Agar aku tidak malu, aku
pura-pura tertawa juga. Hahaha. Tapi untung, berkat kawanku yang ada disamping,
Wawan, yang tertarik meneliti dunia perwayangan menjelaskan padaku, bahwa
cerita semalam suntuk ini berkutat pada isu politik tanah air yang tengah
berkembang. “Yakni setiap pemimpin itu harus berpihak kepada punakawan, harus
berpihak kepada wong cilik! Bahwa kebenaran harus selalu unggul
dibandingkan kejahata. Maka daripada itu, dibutuhkan perjuangan keras! ”
kata temanku berkobar-kobar. Aku lagi-lagi terkesima, “Hebat bener
wayang itu bisa memuat pesan-pesan moral yang bersifat kebangsaan!”.
Kini, wayang sebagai
salah satu warisan budaya, yang diakui dunia lewat badan PBB UNESCO telah
mengalami perkembangan signifikan. Mulai dari ceritanya yang up to date,
hingga suguhan elektronik yang diselipkan dalam setiap pagelarannya. Wow!
Namun sayang, ditengah pergumulan zaman, keterlibatan generasi muda dalam
budaya wayang dan frekuensi pagelaran wayang masih minim, sehingga membuat
wayang kurang berdaya dalam merebut ruang dan perhatian anak-anak muda
Indonesia. Oleh karena itu, kita sebagai generasi muda punya tanggung jawab
moral, dan atau moriil untuk terlibat dalam upaya mempertahankan frekuensi
keberadaan wayang agar tetap eksis!
Kami pulang ke rumah
pukul 4 pagi, tidur setelah sebelumnya melaksanakan shalat subuh. Aku bangun
kesiangan sekitar pukul 10.00 wib. Ngantuk berat! Hehehe. Dan setelah
itu menuliskan tulisan ini, yang kuberi judul “Wayang Malam Itu”. Hihihi.
Terimakasih telah membaca, dan semoga menginspirasi!
Komentar
Posting Komentar