STRATEGI PEMENANGAN PILKADA DI ERA DIGITAL
Kampanye merupakan hal yang tak lepas dalam kompetisi politik untuk
mensosialisasikan para figur yang bertanding. Berbagai cara dan gerakan mereka
lakukan untuk menarik suara dan simpati publik. Salah satunya adalah dengan
berkampanye melalui dunia maya yang memanfaatkan sosial media sebagai sarana
komunikasi yang sedang dekat dengan masyarakat. Sosial media dianggap
sebagai media komunikasi yang efektif untuk bersosialisasi terhadap masyarakat.
Sebagai contoh, dalam Pilgub DKI Jakarta beberapa tahun lalu, terdapat
gerakan di dunia maya untuk mendukung Jokowi-Ahok. Mereka menamakan diri dengan
Jokowi Ahok Social Media Volunteers (JASMEV). Gerakan tersebut
kemudian kembali aktif untuk mendukung Jokowi-JK dalam berkampanye di dunia
maya untuk memenangkan pilpres 9 Juli 2014.
Trend baru itu kembali muncul dalam kampanye pilkada DKI tahun 2017
ini, yaitu kampanye dengan menggunakan aplikasi medsos, mulai dari Instagram,
Twitter juga Facebook serta Youtube. Sebagaimana
diketahui, 54% pengguna internet di Indonesia
sudah mempunyai akun Instagram atau sekitar 35 juta, Facebook masih merajai
media sosial di Indonesia dengan jumlah pengguna sebanyak 76 juta dengan
rentang usia antara 18-34 tahun. Sedangkan,
pengguna Twitter di Indonesia sudah mencapai 19 juta users.
Era medsos atau akronim dari media sosial sekarang ini memang tidak
dapat terhindarkan lagi. Termasuk oleh para kandidat yang memang dituntut untuk
meraup suara golongan muda melalui aplikasi ini. contohnya seperti “Baca Tweet
Jahat” oleh tim pemenangan Anies-Sandi dan baru-baru ini ada “Ahok Show” yang
menjadi salah satu strategi meraih pemenangan oleh tim Ahok-Djarot. Dalam
“Baca Tweet Jahat” biasanya mencoba menampik isu-isu negatif atau kampaye hitam
(black campaign) yang menyerang Anies-Sandi. Adapun “Ahok Show” menurut
penulis merupakan strategi baru pemenangan Ahok-Djarot guna menjaring suara
kaum muda di DKI yang memang gadget holic, atau mungkin penulis meyakini
bahwa beberapa fakta di lapangan menunjukkan ada banyak warga DKI yang tidak
menerima Ahok cs secara langsung untuk berkampanye, sebab telah dilabeli
sebagai penista agama pasca ucapannya di Kepulauan Seribu.
Keaktifan masing-masing tim memang terlihat begitu kentara, bahkan
masing-masing saling menyerang satu sama lain. Uniknya dan perlu dicontoh oleh
daerah lain ialah persaingannya berlangsung dengan amat-sangat kreatif, penuh
gambar dan visual bergerak. Namun, kampanye lewat medsos juga dapat berakhir
dengan tindak pidana, jika pelaku atau partisan suatu kelompok menggunakannya
untuk menyerang kelompok lain. Biasanya tindakan itu dilakukan lewat penyebaran
berita hoax (palsu/fiktif) yang telah dimanipulasi sedemikian rupa
sebagaimana keinginan awal pelakunya.
Efektifitas Kampanye Lewat Medsos
Kampanye melalui dunia maya memang cukup menarik simpati masyarakat
terutama golongan muda atau bagi mereka yang melek perkembangan zaman,
dan memiliki jangkauan luas dalam hal berkomunikasi. Namun pertanyaannya,
apakah metode kampanye seperti ini efektif? Jika merujuk kepada kontestasi
pilkada DKI, maka kampanye lewat medsos memiliki kekurangan.
Salah satunya dan yang paling parah ialah kampanye hitam atau “black
campaign” untuk menyampaikan pesan-pesan yang sesungguhnya diluar dari
etika politik. Black campaign atau kampanye hitam secara terminologi
dapat diartikan sebagai kampanye dengan cara jahat yang dilakukan untuk
menjatuhkan lawan politik dengan isu, tulisan, atau gambar yang tidak sesuai
dengan fakta yang bertujuan untuk merugikan dan menjatuhkan orang lain. Dengan
cara menghina seseorang, ras, suku, agama calon yang bermaksud untuk mengadu
domba masyarakat. Oleh karena itu, sejak awal, pihak penyelenggara telah
mewanti-wanti dengan mengkonfirmasi medsos mana saja yang secara sah dan resmi
mengatasnamakan salah satu pasangan calon. Kesimpulannya bahwa kesuksesan dalam
sebuah pemilu, tidak hanya dipengaruhi oleh efektifitas berkampanye melalui
sosial media, sebab interaksi langsung dengan masyarakat lebih diperlukan untuk
menghilangkan jarak antara pemimpin dengan masyarakatnya, dan mengukur
sejauhmana kesigapan seorang pemimpin dalam menyelesaikan langsung permasalahan
yang terjadi di masyarakatnya baik itu melalui kinerja maupun lewat program-program
paslon.
Kehadiran sosial media sebagai media kampanye harus menuntun masyarakat
Jakarta agar lebih cerdas dalam menyikapi isu-isu miring, yang kerap menyerang
salah satu paslon. Sehingga tabayyun dan crosscheck pun mutlak
untuk terus dilakukan. Selain itu, para kandidat dan timses yang bertanding
sudah seyogyanya menjunjung tinggi etika politik yang berbudi pekerti luhur dan
bukan malah menebarkan bara.
Komentar
Posting Komentar