KUMPULAN OPINI (Permasalahan Negeri dan Penyelesaiannya 6-10)

MEDIA DAN KINERJA POLRI
Ada banyak masyarakat yang meyakini, bahwa media adalah pilar ke-empat dalam alam berdemokrasi, setelah peran eksekutif, legislatif dan juga yudikatif. Ada banyak pula dari masyarakat kita yang meyakini, bahwa media telah menciptakan sistem pemerintahan kita yang penuh dengan transparansi. Lagipun, media memiliki tanggung jawab untuk terus memberikan informasi yang akurat dan terpercaya, sekaligus terhindar dari bahayanya pemberitaan hoax yang dapat memecah belah kesatuan bangsa.
Baru-baru ini, Polri memberikan penghargaan kepada sejumlah media di tanah air. penghargaan tersebut diberikan karena kontribusi media tersebut dalam membantu Korps Bhayangkara mengemban tugas melayani dan melindungi masyarakat. Juga sebagaimana yang dikutip dari NTMCPOLRI, bahwa penghargaan ikut diberikan kepada sejumlah Kabid Humas Polda se-Indonesia. Acara pemberian penghargaan itu digelar di Rupatama, Mabes Polri, Jalan Trunojoyo, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Rabu (15/3/2017). Penghargaan itu diberikan langsung oleh Kapolri Jenderal Tito Karnavian.
Adapun media yang memperoleh penghargaan tersebut ialah: LKBN ANTARA. Kategori televisi: tvOne, Metro TV, Kompas TV, INews TV, CNN, TVRI, JakTV, Tribata  TV, Liputan6. Kategori media cetak: Media Indonesia, Harian Pos Kota, Kompas dan Republika. Kategori radio: Elshinta, RRI dan Sonora FM dan terakhir  Detik.com yang menjadi medi daring satu-satunya yang mendapat penghargaan.

Beberapa media ini dinilai oleh Polri telah berusaha menyebarkan informasi bagaimana kinerja Polri yang sesungguhnya. Bagaimana tidak? Sebab selama ini citra kepolisian sempat runtuh di mata masyarakat, dan media memiliki kekuatan untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat kepada kinerja kepolisian yang bersih dan bermartabat. Namun, tentu masyarakat sangat tidak ingin citra baik kepolisian itu hanya muncul di layar kaca saja. Oleh karena itu, Polri memang perlu meningkatkan profesionalisme anggotanya dalam menegakkan hukum tanpa pandang bulu. Sehingga, apa yang dimunculkan media terkait kinerja Polri bukan sekedar konstruksi yang penuh dengan realitas semu (pseudo event). Terakhir, semoga momentum kerjasama antara Polri dan sejumlah media ini, tidak menghilangkan daya kritis media dalam memberitakan kinerja mereka demi azas kemanfaatan bersama. 
***
 RELEVANKAH PENGGUNAAN E -VOTING?
Negeri ini kembali dihebohkan dengan satu pertanyaan, “Perlukah penerapan “E-Voting pada pemilu di Indonesia?”. Pertanyaan tersebut mencuat, karena baru-baru ini DPR-RI mewacanakan penerapan e-voting pada pemilu 2019 nanti. Namun, yang menjadi masalah ternyata tidak hanya itu, sebab, DPR juga bertolak ke Jerman dan Meksiko untuk studi banding akan hal ini. Tiga puluh anggota itu melakukan studi banding kedua negara tersebut  pada 11-16 Maret 2017. Padahal, sebagaimana yang telah diberitakan Primetime News di Metro TV, bahwa jelas terdapat banyak perbedaan antara sistem pemilu di kedua negara tersebut dengan negara kita, Indonesia. Jangan sampai terkesan mencari-cari alasan untuk jalan-jalan. DPR bek jak sabee’ (DPR  jangan pergi-pergi saja). Maka, memandang dua masalah ini sudah relevankah? Yang jelas agenda ini masih menuai banyak kecaman dan satiran.
Maksud anggota DPR yang terlibat dalam pansus mungkin memang ada baiknya. Mereka ingin bangsa ini selangkah lebih maju dalam hal pelaksanaan pemilunya, sekaligus meningkatkan kualitas pemilu hingga nantinya akan mempermudah pelaksanaan pemilu di masa depan.   Namun, penulis memilih setuju dengan anggota KPU, bahwa luasnya geografis Indoenesia dari Sabang sampai Merauke membuat penerapan e-voting masih sangat sulit untuk digunakan. Apalagi, jika melihat masyarakat middle in low kita di pelosok daerah yang belum tentu melek perkembangan zaman.
Jadi, menurut penulis,  jika merujuk kepada kondisi di Indonesia, maka hal tersebut belumlah relevan. Lagipun, semangat manual masih juga memunculkan beragam persoalan seperti kecurangan-kecurangan di lapangan. Apalagi, jika menggunakan e-voting yang jelas bisa diretas sewaktu-waktu. Oleh karena itu, butuh waktu lama dan persiapan yang matang untuk benar-benar siap menggantikan sistem pemilu konvensional, yang menurut Andrew Reynolds, pakar pemilu internasional (Kompas.com, diakses pada 16 Maret 2017) sebagai sistem pemungutan suara yang paling transparan dan terbaik di dunia.  
Rawan Potensi Korupsi
Potensi korupsi dalam penerapan e-voting juga dapat terjadi melalui pengadaan barang dan jasa. Tentu, ada banyak sekali infrastruktur yang diperlukan untuk penggunaan e-voting ini di 34 provinsi kita. Selain juga server dengan keamanan tingkat tinggi yang memakan banyak biaya, termasuk biaya perawatannya yang tentu tidaklah murah. Komisioner KPU,  Hadar Nafis Gumay merupakan salah satu yang bersikap bahwa sistem itu tak perlu dipakai.
Dapatlah ditarik kesimpulkan, bahwa rencana Panitia Khusus Rancangan Undang-Undang Penyelenggaraan Pemilu tersebut belumlah tepat alias belum relevan. Karena sistemnya yang ditenggarai rawan kecurangan, serta pengadaan anggaran yang rentan dikorupsi. Hasil pemilu yang dapat dimanipulasi juga dapat mengurangi kepercayaan masyarakat  atas proses pemilu yang berlangsung.
***
PEDOFILIA: BENCANA NASIONAL BANGSA INDONESIA
Maraknya kasus kekerasan seksual terhadap anak, khususnya pedofilia sebenarnya sudah lama terjadi. Hanya saja masalah ini kembali menyedot perhatian masyarakat setelah diliput oleh media. Tahun ini kembali menjadi tahun darurat kekerasan seksual terhadap anak. Terungkapnya kasus penyebaran konten porno anak di jejaring sosial Facebook lewat akun grup Candy Lolly 18+ seakan mengingatkan kita akan kasus kekerasan seksual di Jakarta International School (JIS). Masyarakat kembali tertampar, bahwa kasus seperti ini belum dan tidak akan pernah selesai.
Adapun profil pelaku di hampir semua kasus merupakan orang terdekat anak bisa jadi guru, paman, ayah kandung, ayah tiri dan tetangga. Dalam kasus Candy Lolly 18+ misalnya, salah satu pengelola akun tersebut pernah melakukan kekerasan seksual terhadap keponakannya sendiri. Tentu, jika tidak ditindak, hal ini akan menimbulkan depresi, trauma dan gelisah berkepanjangan. Anak sangat rentan menjadi korban kekerasan seksual, karena secara fisik dan psikis mereka hanya golongan yang lemah (powerlessness). Biasanya, hal tersebut berlangsung lewat bujuk rayu, lewat modus pemberian uang Rp. 1000;, Rp. 2000; sampai Rp. 20.000; dan setelah menuntaskan hajat birahinya yang keji, korban bakal dipaksa tutup mulut atau bakal diancam dengan berupa-rupa hal. Sehingga, anak-anak cenderung menutupi peristiwa yang mereka alami, diantaranya karena malu dan takut. 
Penulis memandang kasus seperti ini kembali marak terjadi, karena meningkatnya konten pornografi melalui komik, game online, film dan situs internet, yang disebarluaskan melalui sosial media. Hingga menyebabkan pelaku terangsang dan ingin segera menuntaskan hasratnya. Seharusnya konten-konten seperti inilah yang diblokir seluruhnya. Daripada itu, kebijakan perlindungan anak dari kekerasan seksual dipandang perlu ditegakkan dengan tegas. Musabab pedofilia merupakan masalah serius yang harus segera ditangani oleh seluruh aspek pemerintahan yaitu masyarakat, dunia usaa dan pemerintahan itu sendiri baik itu pemerintah pusat maupun daerah pelosok sekalipun. Musabab pedofilia tidak hanya dilakukan pelaku berstatus pengangguran tapi juga mereka yang berstatus pekerja dan berintelektual. Langkah penyelamatan itu dapat dilakukan mulai dari jaminan hukum yang ketat, berat dan tegas sampai dukungan sosial dari masyarakat. Perlu adanya kerjasama yang simultan dan berlangsung kontinyu baik dari orangtua, masyarakat sekitar dan aparat pemerintah untuk menjamin berhasilnya perlindungan buah hati dan belahan jantung kita. Wallahu ‘alam bish shawab.[]
***
DOMINASI PEMBERITAAN PILKADA DKI 2017
Berbicara DKI Jakarta memang akan selalu menarik bagi masyarakat Indonesia. Mungkin karena statusnya yang ibukota, barometer Indonesia, penuh gemerlap dan glamour, permasalahan macet dan bajir yang tak kunjung usai juga tak terkecuali Pilkada, yang dalam perhelatannya memunculkan nama-nama orang besar dan mentereng. Sorotan kamera dan torehan tinta para pewarta pun tak luput untuk terus mengabarkan setiap detik perkembangannya, walaupun ada ratusan daerah lain yang juga menyelenggarakan hal yang sama.
Apalagi, Ahok sang petahana yang memang tak dapat diragukan kontribusinya dalam merapikan Jakarta baik secara kinerja, visi-misi, dan progra. Namun, tak dapat disangkal juga bahwa nama besarnya tercoreng akibat perkataannya terkait ayat Al-Maidah: 51. Tulah perkataannya tersebut sempat mengundang umat Islam seluruh nusantara berbondong-bondong memutihkan Jakarta. Dengan baju gamis dan surban putih serta kegeraman yang membuncah, mereka serentak mengkritik pemerintah yang kala itu lamban dalam mengadili kasus Ahok. Alhamdulillah, kini Ahok telah duduk dibangku pesakitan, dan masing-masing kubu menanti vonis dengan harap cemas. Ya, mungkin itulah yang menjadi nilai lebih dan khas dari perhelatan demokrasi ini, sarat gengsi dan etnis yang semestinya ditiadakan dalam sebuah kontestasi bernama Pilkada.   
Selain itu, keunikaan dari Pilkada rasa Pilpres ini ialah masing-masing kubu memiliki televisinya sendiri sebagai referensi. Kubu pro-Ahok jelas akan menonton Metro TV untuk menambah data dan fakta, sebaliknya kubu Anies-Sandi tampaknya secara tidak langsung bakal menonton iNews TV sebagai bahan rujukannya. Adapun tvOne tidak begitu terbaca, padahal diketahui Golkar berpihak kepada Ahok jua. Metro TV misalnya, hampir di setiap waktu dan progam selalu membicarakan tentang Ahok: kebaikan Ahok, kehebatan Ahok, dan segala hal tentang Ahok yang kerap disebut “Badja (Basuki-Djarot)”.  Secara tersirat, bahkan pemirsa Metro TV akan paham bahwa ada upaya tv yang didirikan Ketum Nasdem ini untuk mengalihkan isu. Penulis meyakini pengalihan isu itu berupa pengalihan isu penistaan agama menjadi isu Ahok yang terdzalimi dalam Pilkada 2017 ini berdasarkan etnisitas dan agama yang dimilikinya.
Sedangkan, iNews TV milik pengusaha sekaligus Ketum Perindo, Hary Tanoesoedibjo, yang belakangan mendukung paslon nomor 3 tampak getol mengawal sidang Ahok dengan mengundang pengamat yang kebanyakan kontra-Ahok. Menjadikan Pilkada DKI begitu wow, sekaligus menempatkan media menjadi cenderung memihak salah satu pihak. Lucunya, baru-baru ini di Prime Time News Metro TV seusai sidang, Zackia Arfan dan Andini Effendi menanyakan alasan Ahmad Ishomuddin yang mau menjadi saksi ahli agama dari pihak Ahok. Ahmad pun menjawab karena niat untuk menista hanya diketahui oleh Allah SWT dan Ahok sahaja, sehingga jika ingin tahu niat Ahok yang sesungguhnya ya harus bertanya kepada Ahok. Namun, penulis agak janggal dengan alasan yang seperti itu, jika memang demikian tentu permasalahn sudah usai, dan tentu tidak perlu ada pengadilan lagi. Bukankah pengadilan itu ada untuk mengungkap sesuatu yang tersembunyi. Unik sekaligus menarik! Selain itu, Ahmad Ishomuddin kerap ditekankan Metro TV mewakili PB-NU, padahal ia diundang atas nama pribadi sebab tiadanya surat tugas.          
Pilihan untuk memilih Ahok-Djarot atau Anies-Sandi memang menjadi hak penuh warga Jakarta. Secara konstitusional negara kita memang membolehkan siapa saja untuk menjadi pemimpin selama ia sanggup dan mampu untuk mengemban amanat itu. Namun, secara konstitusional negara kita juga membolehkan masyarakatnya untuk meyakini agama yang dipeluknya. Adapun media mainstream nasional seperti Metro TV dan iNews TV haruslah berimbang dan kredibel dalam memberitakan Pilkada, sekalipun berpihak, maka berpihaklah kepada rakyat. Sekian.
***
JANGAN MUDAH PERCAYA BEGITU SAJA!
Hoax or Not
Isu penculikan anak (usia 1-12 tahun) telah dipastikan oleh pihak kepolisian sebagai berita hoax, yang disebarluaskan oleh pihak tak bertanggung jawab melalui aplikasi media sosial (Facebook/WA) atau pesan singkat. Bahkan, isu pemberitaan yang tak jelas rimbanya ini sempat menimbulkan korban fitnah. Perkara seorang perempuan yang ditemukan berkliaran di SDN Mojo 1 Gubeng, Surabaya ia dituduh sebagai penculik anak, beruntung Polsek Gubeng Surabaya langsung mengamankannya sebelum sempat dihakimi massa.  Masyarakat tampaknya benar-benar dibuat resah oleh isu tersebut, apalagi disertai dengan isu penjualan organ tubuh serupa ginjal. Terbukti, dari ibu-ibu yang rela menunggu anaknya hingga jam pulang tiba. Namun isu maraknya penculikan anak janganlah diabaikan, walaupun hoax, kasus penculikan anak memang telah marak terjadi di berbagai daerah di Indonesia.  Di Jakarta misalnya, menempati posisi tertinggi sebanyak 19% disusul oleh Sumsel pada peringkat kedua, dan Aceh sebanyak 13%.
Biasanya memang para penculik ini berprofesi sebagai orang gila, pengemis ataupun gelandangan. Para penculik ini termotivasi oleh bayaran dan desakan kebutuhan ekonomi, dan gangguan jiwa seperti paedofil. Bagaimanapun, tindakan ini amat-sangat tercela karena memisahkan anak dari orangtuanya, dan merupakan tindak pidana perdagangan orang (TPPO), yang wajib diberantas tuntas oleh setiap elemen masyarakat. Menurut Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, TPPO untuk tujuan eksploitasi ekonomi guna mendapatkan keuntungan dapat diberikan sanksi pidana penjara paling singkat tiga tahun dan paling lama 15 tahun, serta denda paling sedikit Rp120 juta dan paling banyak Rp600 juta.
Cara Mengantisipasi
Walaupun hoax, namun setidaknya ada dua cara mengantisipasi maraknya kasus penculikan dan kekerasan seksual terhadap anak, yaitu: 1) Tanamkan kewaspadaan: Katakan kepada anak kalau dia tak boleh langsung percaya pada orang lain (baca: asing). Katakan kepada mereka untuk tidak mau sekalipun dibujuk rayu dengan mainan maupun permen, uang dengan nominal tertentu ataupun seolah-olah mengenal salah satu anggota keluarga. 2) Jangan memberikan perhiasan berlebihan: Jika anak sudah bersekolah dan bergaul dalam lingkungan umum, maka jangan pernah memberikan perhiasan yang mencolok dan sekiranya dapat mengundang perhatian penculik, musabab dikira anak orang kaya.
Terbukti atau tidaknya kebenaran kabar ini, kasus ini sekali lagi menyadarkan kita, bahwa dalam mengonsumsi suatu berita haruslah ada crosscheck terlebih dahulu, haruslah ada tabayyun atau “cicip-cicip”. Di dalam ajaran agama Islam, sejatinya muslim/ah telah dituntun bagaimana seharusnya bersikap terhadap berita yang dibawa oleh orang fasik (hoax), “Wahai orang-orang yang beriman! Jika seseorang yang fasik datang kepadamu membawa suatu berita, maka telitilah kebenarannya, agar kamu tidak mencelakakan suatu kaum karena kebodohan (kecerobohan), yang akhirnya kamu menyesali perbuatanmu itu” (QS. Al-Hujurat, ayat: 6). Masyarakat harus menyaring terlebih dahulu sebelum memastikan kebenaran suatu berita. Apalagi, di era teknologi informasi sekarang ini. Jangan mudah percaya begitu saja![]

Komentar

Postingan Populer