KECAP DAPUR MAJALAH TEMPO
1. Dodi, Antara Tempo dan Tempe
http://majalah.tempointeraktif.com |
Artikel pertama
berjudul Arus Digital dan Reposisi Tempo,
yang ditulis oleh Dodi Ambardi, selaku Ketua Departemen Ilmu Komunikasi
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada. Artikel ini
bercerita tentang pengalaman Dodi ketika masih mahasiswa dan sering
berlangganan dengan majalah Tempo.
Awal perjumpaannya itu berkisar pada pertengahan tahun 1980-an, saat hendak
berbelanja beberapa buku atau majalah bekas dengan harga miring.
Terdapat pada
paragraf dua, Dodi memaparkan kisahnya: “Logo majalah-majalah yang terletak di
bagian atas halaman sampul telah disobek. Edisi yang tersedia adalah terbitan
minggu-minggu yang telah lewat. Dugaan saya, majalah-majalah tanpa logo itu retur dari distributor, yang dijual
ulang dengan harga diskon ketimbang sekadar tertumpuk di gudang” (hal: 122).
Jika saya membaca
tulisan Dodi ini, saya teringat dengan mata kuliah Jurnalistik Media Cetak yang
pernh saya lalui. Dalam pelajaran itu, saya mengetahui setidaknya ada 8 tahap
penyajian berita (cetak), yaitu: 1. Adanya fakta (fenomena yang dilihat,
dirasakan atau disampaikan kepada wartawan), 2. Layak diberitakan atau
diarsipkan (tidak mengganggu stabilitas negara, tidak mengandung SARA, tidak
mengganggu ketertiban dan keamanan negara, serta tidak mengganggu keamanan
ataupun privasi pihak lain), 3. Fit to
Print (persiapan cetak Dummy),
4. Dummy
(tampilan yang sudah menyerupai koran/majalah, namun untuk diperiksa kembali
oleh redaktur bahasa), 5. FIT/ FIAT
(siap cetak secara massal), 6. Didistribusikan, 7. Koran sampai ke tangan
pembaca, 8. Return (kembali ke
gudang). Jadi, saya pun setuju dengan pendapat Dodi bahwa daripada majalah Tempo mengalami return, lebih baik jika dirabatkan dan dipasarkan ulang.
Adapun diantara
tulisan Dedi mengenai historical love-nya
dengan Tempo, saya tertarik dengan
salah satu kalimat yang ditulisnya: “.., sebagai mahasiswa kos dengan uang
terbatas, saya sering harus berpikir keras untuk sampai pada pilihan: membeli
majalah Tempo untuk menu otak atau
membeli lauk tempe untuk menu perut. Yang lebih sering terjadi, saya mengambil Tempo dan menomorduakan tempe” (hal:
122). Sejatinya, saya juga pernah melakukan apa yang dilakukan Dodi demi
mengisi otak saya. Hanya saja, saya sempat beberapa kali meminjam Tempo di perpustakaan FISIP USU
ketimbang membeli yang bekas sekalipun. Sampai akhirnya, stok Tempo yang ada di perpustakaan habis
saya baca dan saya pun tidak melanjutkannya
lagi. Mungkin, saya termasuk orang yang suka gratisan, dan tidak ingin mengeluarkan uang sepeserpun untuk barang
yang sudah turun harga.
Sedangkan, pada
paragraf keempat beliau menulis: “Namun saya lebih sering menengok masthead Tempo yang memuat sejumlah nama sehingga saya merasa lebih akrab
dengan pengelola Tempo ketimbang
liputan-liputannya” (hal: 122). Jika membaca tulisan ini, saya juga jadi
teringat dengan Mira Lesmana pemilik Miles
Production, salah satu perusahaan produksi film bonafid di Indonesia. Mira
Lesmana pernah menyatakan dalam salah satu wawancara televisi bahwa ketika
orang tertarik untuk memahami pesan suatu film, maka Mira ingin mengetahui
siapa orang-orang hebat yang telah menciptakan film yang ditontonnya. Hingga
saya jatuh kepada satu kesimpulan, bahwa orang-orang pintar seperti Dodi
membaca bukan hanya untuk mencari informasi, tapi juga ingin mengetahui
bagaimana proses produksi lahirnya suatu tulisan. Tentunya, itu semua melewati tangan-tangan
orang yang hebat!
Dari tulisan Ketua
Departemen Ilmu Komunikasi FISIP UGM ini, saya juga menyadari apa yang menjadi
nilai pembeda antara Tempo dengan
media lainnya. Yaitu terdapat pada paragraf kesembilan: “...Setidaknya dua
fungsi bisa dijalankan oleh Tempo
sekaligus: sebagai institusi bisnis dan institusi sosial jurnalisme” (hal:
122). Jauh-jauh hari sebelum saya membaca artikel ini, saya telah mengetahui
pula bahwa menurut A. J. Liebling media cetak berjalan dengan baik, jika
memenuhi trikotomi: 1. Belahan ideal, 2. Belahan sumber daya alam, 3. Belahan
bisnis. Saya telah mengetahui bahwa Tempo
merupakan majalah yang berdedikasi tinggi (ideal). Hal tersebut saya dapatkan
lewat novel Ahmad Fuadi berjudul Rantau 1 Muara. Meskipun, dalam novel itu Tempo disamarkan namanya dengan Derap. SDM hasil gemblengan
Tempo pun tak perlu diragukan lagi, seperti Goenawan Muhammad (jurnalis
sastrawi), Putu Wijaya (jurnalis budaya), Karni Ilyas (kini Pemred Tv One),
Johan Budi (kini Juru Bicara Kepresidenan), Leila S. Chudori (Penulis Buku
‘Pulang’) dan tentunya masih banyak lagi. Iklan-iklan Tempo pun, jika saya perhatikan didominasi oleh barang dan jasa
untuk kalangan menengah ke atas.
Namun, kehebatan Tempo bukanlah tanpa rintangan. Media
yang terbit seminggu sekali ini sempat dibredel pada tahun 1994. Tempo
bersama sejumlah media lain dibredel pemerintah, karena mengungkap borok
pemerintah dalam pembelian kapal perang bekas dari Jerman, yang justru biaya
perbaikan dan perawatannya melampaui biaya pembelian kapal baru. Namun, Tempo tidak berakhir begitu saja seperti
kerupuk terkena air. Hal tersebut diceritakan pada paragraf keenambelas: “...Tempo mengunjungi pembaca dengan Tempo Interaktif yang berformat digital pada 1996. Tampak bahwa ini
adalah Tempo darurat, karena gaya
liputan yang termuat di Tempo Interaktif
tidak mirip dengan liputan Tempo
majalah. Baru setelah orde baru tumbang, majalah Tempo hadir lagi ke publik pada 1998 di tengah merebaknya
jurnalisme online” (hal: 123).
Kesesuaian Judul Dodi
“Arus Digital dan Reposisi Tempo”
terdapat pada paragraf 17-19, yang berbunyi: “Tempo kemudian berkembang menjadi anglomerasi yang memiliki edisi
bahasa Inggris pada 2000, Koran Tempo
pada 2001, dan diikuti kehadiran Tempo.co,
yang merupakan metamorfosis Tempo
Interaktif, serta kehadiran Tempo TV.
Tapi, bagi saya, obor jurnalisme Tempo tetap dipegang majalah. Yang
menjadi pertanyaan, di tengah gempuran kehadiran blogging dan jurnalisme media online,
bagaimana jurnalisme majalah Tempo
beradaptasi?” (hal: 123).
Untuk jawaban dari
pertanyaan diatas, Dodi menjawabnya sendiri pada paragraf selanjutnya: “.., repositioning yang diambil majalah Tempo adalah mendefinisikan ulang jenis
jurnalisme yang ditawarkannya ke publik. Ia kini mengandalkan dan
memperbanyak teknik investigasi dalam laporan-laporan-laporan pemberitaannya.
Teknik investigasi ini mesti dibedakan dengan rubrik investigasi, yang memang
telah ada di majalah Tempo” (hal:
123). “...Yang terlihat, Tempo
membentuk dan mempertahankan ceruk pasar pembaca serius, kelas menengah
perkotaan, dan senior yang menghitung kredibilitas media sebagai pertimbangan
penting untuk mengonsumsi informasi.
Dari artikel ini,
dapatlah saya mengambil satu kesimpulan akhir bahwa “Man saraa ‘ala ddarbi washalaa” (Barang siapa berjalan diatas
jalannya, maka sampailah ia). Dan, Tempo
telah memilih jalan sebagai majalah yang berkredibilitas, dilirik pembaca
serius, dan terus mengasah teknik investigasi yang menjadi senjata pamungkas Tempo. Salut!
***
2. Jurnalis yang Akademikus, Akademikus yang Jurnalis
http://assets-a1.kompasiana.com |
“Panjang
dan jumlah tulisan bukan jaminan mutu liputan khusus atau kepuasan publik. Kesuksesan karya jurnalisme investigatif terbukti bila ia disimpan, dibaca ulang, atau
dikutip oleh berbagai profesi lain bertahun-tahun sesudah diterbitkan”.
Sengaja saya mengutip
kata-kata hebat itu dan meletakkannya di bagian pembuka. Kata-kata itu saya
dapatkan dari salah satu artikel Tempo
berjudul “Media Massa dan Publik Terpelajar” oleh Ariel Heryanto, Profesor pada
The School of Culture History and
Language Australian National University.
Ariel tidak sama seperti
Dodi sebelumnya, yang memulai tulisannya dengan kenangan manis bersama Tempo. Namun, bukan berarti Ariel tidak
menaruh perhatian serius dalam melihat strategi Tempo. Bahkan Ariel menaruh perhatian serius, pada era saling sikut
antar media ini.
Ia membuka awalan
kalimat artikelnya dengan sangat baik: “Sumbangan terbesar media massa mutakhir
bagi masyarakat bukan lagi penyedia berita, melainkan kajian mendalam dan
berjangka panjang yang biasa disebut jurnalisme investigatif (seterusnya
disingkat JI)” (hal: 124).
Memang, Jurnalisme
investigasi adalah kegiatan mengumpulkan, menulis, mengedit, dan
menerbitkan berita yang bersifat investigatif, atau sebuah penelusuran panjang
dan mendalam terhadap sebuah kasus yang dianggap memiliki kejanggalan. Kata
jurnalisme investigasi sendiri berasal dari bahasa Latin, yaitu journal
dan vestigium. Journal
atau diurnalis berarti orang yang melakukan kegiatan jurnalistik, dan vestigium
yang berarti jejak kaki.
Hingga wajar, jika proses JI yang
mumpuni telah menjadikan industri media massa lebih diminati sebagai referensi.
Ketimpangan tersebut terlihat jelas dari jauh lebih banyak karya jurnalis yang
dikutip mahasiswa dan dosen dalam makalah mereka. Tampaknya Tempo
menyadari ini dengan menyajikan JI yang mendalam, berwawasan cerdas, cermat
dalam penyampaian, dan yang terpenting akurat dalam hal data. Ini lah mungkin
yang mendasari tulisan Ariel yang menjurus kepada peran ganda seorang jurnalis,
yaitu jurnalis yang akademikus dan akademikus yang jurnalis.
Ariel membahasnya lebih lanjut: “Masalahnya
tidak mudah atau murah. Tidak semua industri media dan tidak semua jurnalis
siap memproduksinya terus-menerus. Seperti penelitian ragam lain, JI yang baik
membutuhkan modal, sarana, dan sumber manusia yang tidak kecil” (hal: 124,
paragraf: 5). Ketika saya menulis resume di bagian ini, saya teringat dengan
salah satu makna media berkredibilitas yang diungkapkan Bapak Safrin, dosen
Manajemen Mass Media saya: “Media
yang berkredibilitas adalah media yang memikirkan pembaca dan pemasang iklan.
Sehingga, banyaknya orang yang membeli media tersebut akan menambah tiras
iklan. Sebab, pembaca media yang besar akan mendorong pemasang iklan untuk
masuk, apalagi jika harga pasang yang murah. Tentu gaji wartawan pun berada
pada taraf sejahtera. Alhasil, siklus putaran ini akan mempengaruhi cara kerja
wartawan yang mumpuni dan menjadikan nama media yang berkredibilitas”. Mungkin,
ada sinergisitas antara pernyataan Profesor Ariel dan Dosen saya dalam
menanggapi media yang memiliki modal besar, sarana yang memadai, serta jumlah
SDM yang tidak kecil. Walaupun keduanya memandang dari pendekatan yang berbeda,
tapi secara tersirat pengertian media berkredibilitas menurut mereka nyaris sama.
Terakhir, kesimpulan yang dapat saya
tangkap dari artikel kedua ini adalah: “Khairunnas
man yan fa’u linnass” (sebaik-baik manusia adalah yang berguna bagi orang
lain). Tempo dengan awak medianya telah mencoba membeikan kontribusi nyata yang
layak untuk dibaca, bahkan dibaca ulang bertahun-tahun kemudian. Semoga ini
menjadi semacam pemicu semangat media lain, untuk tidak hanya mempublikasikan
tulisan yang panjang, tapi juga disertai mutu dan memperhatikan aspek uses and gratification publik.
***
3. Bekal Inspeksi Mendadak Satuan Tugas
upload.wikimedia.org |
Judul diatas terdapat
pada halaman 66, dari keseluruhan halaman 60-67 yang memang harus saya resume-kan. Saya merasa tertarik dan
meyakini bahwa judul tersebut akan mampu mewakili isi dari setiap halaman yang
ada. Jika di-resume sebelumnya
menceritakan pengalaman ataupun penghayatan pihak eksternal terhadap Tempo, maka pada dua artikel terakhir
ini menceritakan contoh kasus investigatif yang dialami langsung oleh pihak
internal Tempo dan bagaimana mereka
mengeksekusinya. Hingga menjadi suatu liputan teladan.
Artikel ‘Penjara
Khusus Yang Terbongkar’ dan ‘Bekal Inspeksi Mendadak Satuan Tugas’, sama-sama
menceritakan tentang Artalyta Suryani alias Ayin yang menjadi tahanan Pondok
Bambu, namun rasa istana. Tapi, ada dua perbedaan mendasar antara artikel
tersebut, yaitu yang pertama berfokus kepada bagaimana awak Tempo menyusup dan menguak kasus
tersebut, serta kendala yang dialaminya. Sedangkan, bagian kedua lebih banyak
menceritakan tentang kesuksesan Tempo
dalam membongkar malpraktek Lapas, hingga teknik investigasi yang dilakoni Tempo menjadi acuan pemerintah untuk membenahi
sistem lembaga permasyarakatan.
Inspeksi tim bentukan
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pun membuahkan hasil, dengan memergoki Ayin
yang sedang memperoleh perawatan kecantikan, juga fasilitas khusus untuk
terpidana lain seperti karaoke. Ada beberapa kalimat narasi yang menggambarkan
ketangguhan wartawan-wartawati yang dimiliki majalah yang diketuai Toriq Hadad
ini, diantaranya:
1.
“.., fotografer Arnold Simanjuntak tiga hari
bolak-balik ke tempat yang sama. Ia masuk dengan berpura-pura menjadi penjenguk”.
(paragraf: 3)
2.
“ Berbekal informasi yang secuil itu, Kompartemen
Investigasi mengusulkan rencana liputan ke rapat perencanaan redaksi pada suatu
senin pagi. Karena bukti awalnya sangat lemah, rapat menolak dan meminta tim
investigasi melakukan verifikasi lebih dulu”. (paragraf: 13)
3.
“ Buat meredam rasa was-was, Ule menjamin
identitas informan “mahkota” itu aman...”. (paragraf: 20) atau “..Atas
bantuan seorang pengasuh kerohanian rumah tatanan, Budi masuk ke penjara
sebagai pendakwah”. (paragraf: 23)
4.
“ Gambar dari rekaman itu tidak diterbitkan. Budi
Setyarso menggunakannya untuk presentasi pembuktian informasi awal tentang
fasilitas khusus yang diperoleh Ayin kepada rapat redaksi majalah. “Bukti bahwa
fasilitas khusus itu benar ada,” katanya. Rapat pun setuju investigasi
dilanjutkan untuk disiapkan menjadi laporan utama”. (paragraf: 21)
5.
“..Kesulitan selanjutnya adalah mendapatkan
konfirmasi dari Ayin. Ule dan Budi Riza mengejar sopir pribadi Ayin yang
tiap hari datang membesuk. Tak mudah mendapatkannya. Pernah mereka mengejar
mobil Ayin dengan ojek, tapi kehilangan jejak”. (paragraf: 26)
6.
“ Hasil investigasi ini diterbitkan pada Januari
2000, dengan judul “Pondok Bambu Rasa Istana”. Pada satu kesempatan setelahnya Redaktur Eksekutif
Wahyu Muryadi bertemu dengan Ayin. Setelah mengeluhkan liputan yang membuatnya
dipindahkan dari Pondok Bambu ke Lembaga Pemasyarakatan Tangerang, Banten,
menurut Wahyu, Ayin justru mengatakan, “Kuakui, anak buahmu harus diancungi
jempol, bisa menembus penjara. Salutlah.”
(paragraf: 29)
Dari beberapa poin
yang saya cantumkan diatas, dapatlah saya mengambil kesimpulan, bahwa cara-cara
jurnalisme investigasi Tempo
setidaknya menempuh enam cara, yaitu: 1. Berusaha masuk sedalam mungkin kedalam
pusaran masalah, bahkan kalau perlu dengan berkamuflase demi memudahkan
liputan, 2. Selalu mengedepankan asas praduga tak bersalah, dan melakukan
triangulasi lebih dulu agar tidak menjadi berita berdasarkan isu atau prasangka
semata, 3. Memiliki koneksi ‘orang dalam’ yang dapat dihandalkan dan
merahasiakan identitasnya (off the record),
4. Rapat selalu dikedepankan untuk menentukan isu-isu publik mana yang akan
dijadikan isu media, dan akan latah dengan sendirinya menjadi isu kebijakan
pemerintah, 5. Informan ‘kunci’ akan selalu sulit untuk dimintai keterangan,
namun wartawan tangguh akan mengejarnya dengan berbagai macam pendekatan (persuation), 6. “Man Jadda wa jada” (No sweet
without sweat), setelah berpayah-payah terlebih dahulu, maka sanjungan dan
pujian pun bakal datang dari mulut newsmaker
yang kita beritakan.
Sedangkan, di artikel
kedua berjudul ‘Bekal Inspeksi Mendadak Satuan Tugas’, hanya sedikit yang dapat
saya simpulkan, yakni terletak pada paragraf 6 dengan bunyi kalimat sebagai
berikut: “ Tak banyak informasi diberikan Arif dan Budi kepada Satgas.
Musababnya, kata Budi, Toriq Hadad, Pemimpin Redaksi Tempo kala itu, melarang
mereka berbicara tentang materi yang belum dipublikasikan. “Mas Toriq bilang,
‘Janganlah. Nanti kita dianggap menjebak Ayin,” ujar Budi.
Toriq mengakui
melarang karena ingin menjaga etika bahwa posisi medianya harus tetap
independen. “Kalau kebiasaan koordinasi itu diikuti, kita akan banyak
direpotkan oleh berbagai permintaan lembaga penegak hukum,” katanya. “Meski
misi mereka mungkin sama, kita berbeda dalam tanggung jawab.”
Terakhir sebagai
penutup resume saya ini, ada baiknya
saya mengutip salah satu petikan kata-kata bijak jurnalistik dari Novel Rantau
1 Muara, karya A. Fuadi, yang memang sesuai dengan pernyataan Toriq diatas tadi:
“ Kita bukan majalah dengan jurnalisme kebanyakan. Karena kita fokus kepada
seni menyampaikan yang sebenarnya. Tugas kita melacak, mencatat dan
menyebarluaskan informasi kepada masyarakat, selanjutnya aparat hukumlah yang
kita harapkan bergerak. Dalam menghidangkan berita kepada masyarakat, kita
tidak berharap puja-puji dan hinaan,” (halaman: 53). [Sekian]
Komentar
Posting Komentar