MEMOAR DIKALA HUJAN

cdn.idntimes.com
(Seluruh Kejadian sedih, seluruh kejadian bahagia, dan seluruh kejadian penting terjadi saat hujan. –Tere Liye dalam novel ‘Hujan’ halaman 47)
Jika ada yang ingin kuhapus dari memori ingatanku itu adalah kamu, yang mengajarkanku tentang luka, sakit dan perihnya patah hati. Juga tangis, sehingga aku membutuhkan banyak tisu untuk menyeka hidung dan mataku yang berair.
Jika ada hal yang hendak kulupakan itu adalah rintik hujan, yang membasahi tubuh dan pakaian kita. Yang menyisakan nuansa penuh romantic. Sehingga kita pun berkenalan ditengah derasnya hujan, kencangnya angin dan sibuknya kita mencari tempat untuk berteduh.  
***
Dengan menulis aku bisa menjadi siapa saja. Sosok paling ketus atau paling riang sedunia. Dengan menulis aku bisa berada dimana saja. Aku bisa berada di zaman baheula paling kolot, atau di zaman berteknologi paling canggih sekalipun. Aku bisa! Cukup tuliskan saja. Coretlah!
Dengan menulis aku bisa menjadi sepi, makhluk paling individualistis di dunia. Dan menghindari hingar-bingar kepadatan kota, yang cukup sibuk untuk mengisi mulut mereka dengan uang, air, makanan, bensin, serta tempat tinggal. Apalagi, populasi manusia tidak seperti hewan yang bisa dikontrol. Mereka akan terus jatuh cinta, bersetubuh dan berkembang biak. 
***
Manusia mungkin saja merasa berkuasa diatas muka bumi, merasa sebagai spesies paling unggul, tapi mereka sebenarnya dalam posisi sangat lemah saat berhadapan dengan kekuatan alam. Semaju apapun teknologi di muka bumi, tidak ada yang bisa mencegah kejadian itu. Bencana alam yang sangat mematikan. (Tere Liye ‘Hujan’ halaman 18).
“Apabila bumi digoncangkan dengan goncangan (yang dahsyat), dan bumi telah mengeluarkan beban-beban berat (yang dikandung)nya, dan manusia bertanya: “Mengapa bumi (menjadi begini)?”, pada hari itu bumi menceritakan beritanya, karena sesungguhnya Rabbmu telah memerintahkan (yang demikian itu) kepadanya. Pada hari itu manusia ke luar dari kuburnya dalam keadaan bermacam-macam, supaya diperlihatkan kepada mereka (balasan) pekerjaan mereka. Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan sekecil apapun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sekecil apapun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula”. (QS. Al-Zalzalah: 1-8).  
***
Terimakasih hujan, engkau membuat air mataku tak terlihat.
Terimakasih hujan, kau membuat ku berteduh bersamanya sekarang.
Terimakasih hujan, berkatmu tetumbuhan ibuku tumbuh segar.
Terimakasih hujan, berkatmu aku mengenalnya dan dia balik mengenalku.
Terimakasih hujan, karenamu terciptalah nuansa romatis ini.
Aku jadi benar-benar speechless. Hahaha.
Hening beberapa detik.
Dan aku pun berpikir, bahwa aku sangat menyukai hujan.
Mungkin benar kata kakekku, bahwa selalu ada hikmah dibalik suatu peristiwa. Termasuk itu mendung, gerimis dan hujan.
Aku ingin hujan lama reda, agar aku dan dia bisa menunggu berlama-lama disini.
Aku ingin hujan menjadi pertanda sukacitaku dan bukan dukacita.
Aku ingin hujan kali ini menjadi saksi, bahwa aku telah berjumpa dengan sosok yang tepat.
Hujan pun reda, menyisakan basah dan kenangan indah.
‘Terimakasih, hujan,” bisikku.
***
Jangan biarkan aku menangis
tanpa suara
Jangan biarkan aku larut
dalam kesedihan
Tapi rangkul aku,
peluklah aku,
ciumlah aku
agar aku hangat dan tenang.
Ibu...
***
Tidak ada yang tahu pasti kapan datangnya ajal, bencana, musibah ataupun tragedi. Tapi saat semua mimpi buruk itu datang, tak ada satupun yang dapat melaluinya dengan selamat, kecuali semata-mata hanya dengan pertolongan Allah Subhanallu Wa Ta’ala. “Tiap-tiap umat mempunyai ajal. Apabila telah datang ajal mereka, maka mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaat pun, dan tidak pula mendahulukannya. (QS. Yunus: 49).
“Dimana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu. Kendatipun kamu berada di benteng yang tinggi lagi kokoh. (QS. An-Nisa’: 78).
***
Aku salut pada tentara, mereka mengagumkan! Padahal, dikala bencana datang. Mereka juga kalut memikirkan nasib keluarga, kerabat dan rumah mereka yang mungkin juga ikut ditelan bencana. Tapi, dari barak militer mereka menyebar ke seluruh kota, bekerja cekatan. Membantu apa saja sepanjang pagi, siang bahkan malam. Prioritas utama mereka hanyalah satu: ialah membantu menyelamatkan masyarakat. Salut! Kau juga selamatkan semua pakaian, dan makanan, serta obat-obatan yang menjadi milik publik. Kau kontrol pendistribusiannya agar tak terjadi keributan!
***
Kau tenangkan aku,
saat aku terisak lantaran sesuatu
Kau dekap aku
dan tenangkan jantungku yang memompa cepat
Ayah...
Kau sapu mataku yang sembab
dan basah oleh air mata
Kau sudahi tangisku hari ini
Ayah, terimakasih...
***
Sempat dikala kudengar kabar kau menikah, aku menjadi pelamun di kamarku. Aku jadi tak berselera makan. Seenak apapun makanan itu. piring berisi jatah makan pagi, siang dan malamku ludes dimakan kucing. Wajar, makanan itu teronggok disudut kamar tanpa kusentuh. Aku hanya minum air. kucingku gemuk, akunya kurus ceking. Aku tahu aku tak bisa terus seperti ini. Move on!
Kawanku lain lagi, sejak putus dengan pacarnya, suhu tubuhnya turun drastis. Ia jadi demam tak berkesudahan. Sebegitu pilunya kah patah hati? Aku baru tahu itu sekarang! Untung saja aku masih punya iman, sehingga tidak kuteguk racun untuk mengakhiri hidupku. “Ibrahim berkata: “Tidak ada orang yang berputus asa dari rahmat Rabbnya, kecuali orang yang sesat”. (QS. Al-Hijr: 56).
“Dan janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah, sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah melainkan kaum yang kafir”. (QS. Yusuf: 87).
***
 Walaupun mataku terpejam, tapi aku tidak benar-benar terlelap. Aku meringkuk kedinginan dicengkeram sepi dan masa depan yang tak pasti. Lamat-lamat kutatapi masa depanku yang buram dari balik jendela rumah, sekalipun aku telah sarjana. Burung-burung gereja seolah mengejekku dengan cuitannya, “Selamat pagi pengangguran! Selamat pagi pengangguran!”. Tidak! Aku tidak mau dengar itu!
***
Aku lelaki. Aku tidak akan menangis sekalipun kau pergi dibawa hujan. Tapi sebagai ksatria kuakui, bahwa ada bagian hatiku yang kosong setelah setengahnya kau bawa pergi. Kadang aku bertanya kepada dinding hatiku yang muram, “Kurangkah kasih tulusku, sehingga kau pergi tinggalkan aku?!”.
***
Aku perhatian, karena aku cemaskan kau. Aku khawatir, sebab engkau anakku. Saat kau pergi tanpa pamit, dalam pikiranku berkecamuk ratusan orang jahat diluar sana. Yang bakal melukaimu, menjambretmu, menggerayangimu, atau bahkan memperkosamu. Aku takut, aku sangat hati-hati. Aku possesive, sebab aku adalah ayahmu...
***
Aku mengangguk mengakui, bahwa benih cinta itu hadir dan tumbuh bersemi, lantaran terlalu sering diperhatikan dan dipedulikan. Engkau beruntung, tapi jangan terlalu berharap. Musabab bisa jadi ia hanya menganggapmu sebagai adiknya saja. Tak lebih daripada anggapan itu.
***
http://image-serve.hipwee.com

Siapa bilang hujan itu buruk? Hujan itu baik: Ia akan mengusir sejenak tumpukan abu vulkanik setebal 5 cm yang baru meletus, ia membuat udara lebih bersih, mengairi sawah secara lebih alami, menyenangkan petani, dan anak-anak tak berbaju kegirangan keluar rumah membawa gayung dan ember: Mandi hujan! Jika hujan itu buruk, maka ia tentu tidak akan membiarkan anak-anak menyunggingkan senyum tulus mereka pada dunia. Hujan hanya akan menjadi buruk, jika ia turun secara berlebihan tanpa kenal waktu. Apalagi, jika hujan tersebut bersatu dengan pekatnya asap letusan gunung berapi, maka akan terjadilah fenomena hujan asam. Yang bisa meranggaskan tanaman, mengelupaskan semen, meretakkan bebatuan, dan mematikanmu dengan hujan dan kadar asamnya.
***
Kalau kau takut kau akan tegang, lebih hantu daripada hantu: Pucat! Kalau kau gugup dadamu akan berdesir dan berdegup cepat. Kalau kau panik kau akan menggeram seperti harimau betina, dan itu menakutkanku. Tapi tak mengapa. Setelah itu, kalau kau menangis kau bakal menyeka ujung matamu, menurut padaku dan menyadarkan bebanmu pada pundakku. Tak mengapa. Aku pelindungmu. “Akulah yang tetap memelukmu erat/ saat kau berfikir mungkinkah berpaling// Akulah yang nanti menenangkan badai/ agar tetap tegar kau berjalan nanti”. (Aku Lelakimu –Virzha).
***
Kabar gembira bagiku ialah melihat ibu dan bapak rukun, dan bukan malah saling mendiamkan dan menyalahkan, yang berakhir dengan pertengkaran.
Kabar gembira bagiku ialah mendapatkan pekerjaan yang kudambakan yaitu menjadi redaktur tulisan, ataupun wartawan lapangan, ataupun mengajar ilmu komunikasi sembari melanjutkan pendidikan S2-ku.
Kabar gembira bagiku ialah melihat perkembangan adik-adikku yang tumbuh besar, dan semakin dewasa dalam menapaki kehidupan.
Dan, kabar gembira bagiku ialah menikahimu, gadis manis berkacamata. Sungguh, aku ingin tahu bagaimana rasanya dipakaikan dasi oleh seseorang istri.   
***
Ilmu pengetahuan memang selalu bisa mengatasi masalah. Namun, matinya hati takkan pernah bisa diobati kecuali dengan membaca al-Qur’an. “Bacalah dengan (menyebut) nama Rabbmu yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dari Rabbmu lah yang maha pemurah. Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan qalam (pena). Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya”. (QS. Al-‘alaq: 1-5).  
***
Ada begitu banyak kenangan seorang ibu terhadap anak-anaknya. Oleh karena itu, jangan heran, jika seorang ibu memiliki sindrom untuk sulit dan berat melepaskan anaknya; untuk merantau, bekerja, kuliah di luar negeri, apalagi membangun hubungan baru. Sang ibu bakal merasa tersaingi dengan hadirnya sosok baru di keluarganya.
Tapi, pada akhirnya, seorang ibu tetaplah seorang ibu. Ia akan rela melepaskan buah hatinya demi kebahagiaan mereka. Rindu kamu, ibu..
***
Kubiarkan tetes gerimis menerpa mukaku, sembari mengayuh sepedaku dengan cepat. Melintasi jalan aspal dan ketidakpastian akan masa depanku. Tapi aku tak boleh kalah, aku harus menggeliat dan bangkit kembali dari keterpurukan ini, karena seberat apapun cobaan itu pasti ada jalan keluarnya.
Yes Allah knows. Allah knows you’re tired. Allah knows it is difficult for you. But you must also know, “That Allah would never place you in a situation that you can’t handle”. (QS. Al-Baqarah: 286).
***
Pengangguran itu adalah saat kantor-kantor pemerintah dibuka, toko-toko kembali beroperasi, mesin pabrik kembali menyala, dan pusat bisnis kembali berdenyut, para tukang yang hilir mudik dengan alat konstruksinya, serta orang lain sibuk berlalu-lalang mencari penghidupannya masing-masing. Namun, kau masih di bilik kamarmu, dan meratapi ijazahmu yang seolah tidak ada gunanya. Keluarlah! Jangan merenung terus! Kerjakan saja apapun yang kau bisa!
“Engkau sarjana muda
Resah mencari kerja
Tak berguna ijasahmu
Empat tahun lamanya
Bergelut dengan buku’

‘Sia-sia semuanya
Setengah putus asa dia berucap
“maaf ibu...” (Lirik Lagu Sarjana Muda –Iwan Fals).
***
Hal tersulit bagiku ialah memberitahumu, bahwa kita akan berpisah untuk waktu yang lama. Setelah sekian lama kita melalui kenangan-kenangan indah bersamamu, kekasihku. Aku menelan ludah, tak sanggup membayangkan, bahwa kita tak bisa bersama-sama lagi, baik saat suka maupun saat duka, saat senang maupun saat sedih, saat sehat maupun saat sakit. Aku pun tahu, dalam hati kau menyimpan tangis, dalam senyum kau menyimpan kelu.
Aku pun melesat pergi, membawa sejuta kenangan yang terpatri dalam dada. Aku hilang dibawa kereta api. Aku tahu, kau pun menangis dalam rintik hujan. Tapi kau tetap melambaikan tangan ke arahku, dan seolah ada lagu:
“Pergilah kasih
Kejarlah keinginanmu
Selagi masih ada waktu
Jangan hiraukan diriku
Aku rela berpisah demi untuk dirimu
Smoga tercapai sgala keinginanmu” (Lirik Lagu Pergilah Kasih –D’ Masiv).
***
Ketika aku terpaksa berpacaran denganmu, lantaran hidupku yang terus menjomblo dan tak laku-laku, hingga terus dibully oleh teman-teman, kau hadir menyelamatkan aku. Namun kala itu, kau hanyalah seorang perempuan yang bertubuh tinggi, lagi kurus, rambutmu juga kribo, wajahmu tirus jerawatan, berkawat gigi, dan jika berbicara sering melengking sangking bersemangatnya.
Kini setelah lama kita berpisah, dan aku telah memutuskan mu jauh-jauh hari, dan kita bertemu kembali dalam suatu reuni. Kau berubah 180 derajat! Menjadi sosok gadis yang sangat cantik dan rupawan, serta didambakan oleh banyak lelaki. Kan kampret! Kenapa nggak dari dulu, Neng, saat kita masih bersama-sama. Hiks. Kezel!
***
Jika manusia tidak dibekali dengan memori, baik jangka pendek maupun jangka panjang, mungkin manusia tidak akan pernah mengenal yang namanya kenangan. Baik itu kenangan yang menyenangkan, maupun kenangan yang menyakitkan.
Jika tidak ada memori, mungkin setiap kenangan manusia yang saling berkelindan dan berpilin satu sama lain itu, hanya akan berakhir di tong sampah. Sungguh tidak menyenangkan!
***
Bakat selalu membawa kebahagiaan, bagi siapapun yang memilikinya. Seperti bakat menyanyi, menari, atau memainkan suatu permainan olahraga, yang membuat nama pemainnya melambung tinggi dan dielukan oleh para fansnya.
Dewasa ini, ‘merayu’ juga merupakan suatu bakat tersendiri bagi para wanita, yang ingin mendapatkan uang dengan instan. Cukup bermodalkan wajah cantik, bibir seksi, ‘bemper’ depan dan belakang yang aduhai, maka setiap om-om hidung belang pasti bakal kelimpungan. Tak peduli seberapa banyak uang yang telah terkuras untuk mendapatkan kenikmatan itu, yang mungkin tidak didapatkannya di rumah sendiri. Oya, satu lagi, ‘jago goyang’ di ranjang juga menjadi nilai plus tersendiri bagi mereka. Sungguh sangat disayangkan! 
“Dan janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji, dan suatu jalan yang buruk”. (QS. Al-Isra’: 32).
***
Kau itu sangat suka bergurau, Kau itu baik hati, Kau itu sangat dewasa, Kau itu sahabatku. Oleh karena itu, sobat, karena kau sahabatku, aku ingin berpesan padamu, bahwa berhati-hatilah dengan ucapan dan jempolmu. Sekalipun itu di media sosial, jangan sampai status-statusmu menyebabkan orang lain tersinggung, dan mengundang masalah baru bagi dirimu sendiri. Masalah koq dicari-cari, ya kan?
***
Mungkin kita sama, Bung! Aku juga kalau melihat mereka berfoto, tertawa, berkejaran, dan bercengkrama bersama keluarga mereka, aku jadi rada sebal. Mungkin, karena keluarga kita broken home kali ya?
Oya, aku juga kesal melihat pasangan muda dengan anak mereka yang masih lucu dan imut-imutnya. Rasanya pengen gua sate, eh? Hahaha.
Mungkin kita sama, bung! Sama-sama introvert yang benci berada di keramaian, dan ingin segera pulang ke rumah, sembari mengembuskan nafas kesal. Hufffftttt!
***
Berhemat bukanlah suatu hal yang bijak, jika itu malah membuatmu bersikap pelit, bahkan terhadap dirimu sendiri.
***
cdn.idntimes.com

Perempuan: Aku tak pernah bisa dan tak pernah mau untuk berbohong. Jujur, aku selalu mendamba satu hari di setiap bulan itu. Bukan gajian. Bukan! Tapi berjumpa denganmu, setelah lama kau bekerja mengebor minyak di lepas pantai.
Aku selalu setia menunggumu, walaupun aku tahu menjumpaimu tak lebih dari 6 jam saja. Musabab engkau punya anak dan istri, sedang aku hanyalah kekasih gelapmu, yang begitu mencintaimu di darat, di laut dan di relung hatiku. Aku selalu menunggu jadwal pertemuan bulanan kita!
***
Laki-laki: Aku tahu, matamu berkaca-kaca saat kau dongakkan matamu menatap gedung bertingkat, menghindari tatapanku. Aku tahu kau berat melepaskanku pergi, mengejar studiku di perguruan tinggi ibukota untuk 3 tahun lamanya. Aku tahu itu bukanlah waktu yang sebentar, walaupun tentu kita bisa saling bercakap-cakap lewat sambungan telepon. Tapi tentu itu sangat berbeda. Kita pun bakal terpisah jarak ribuan kilometer!
***
Terkadang aku berpikir, pasti dunia ini akan maju dan indah berkat buah pemikiran para ilmuwan dan kreasi tangan para seniman.
Terkadang aku berpikir, dunia ini pasti akan semakin bobrok dan hancur, jika didalamnya terdapat buah pemikiran politikus busuk dan kerja pengusaha kotor bin rakus.
***
Umat manusia seperti virus, mereka rakus menelan sumber daya di sekitarnya, terus berkembang biak hingga semuanya habis. Virus tidak bisa diobati, virus hanya bisa dihentikan oleh sesuatu yang lebih mengerikan daripada bencana alam. Saat mereka merusak dirinya sendiri, menghancurkan dirinya sendiri, barulah mereka akan berhenti. (Tere Liye ‘Hujan’: 123).
***
Ijazah itu mungkin hanya selembar kertas, tapi sulit sekali mendapatkannya. Kita diharuskan mengikuti pelajaran, dan melewati serangkaian tes seperti Kuis, UTS dan UAS dengan baik. Juga begitu berharga sebagai penentu masa depanmu (melamar kerja dan atau melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi).
***
“Istri yang cantik adalah ia yang jago masak, dan pintar mengenyangkan perut suaminya”.
-Versi Suami
“Suami yang tidak tahu diuntung itu adalah ia yang mau dimasakin enak-enak, tapi ngasih uang belanjanya pas-pasan! Kan kampret!”
-Versi Istri
***
Kenangan: Sepeda mengingatkanku akan perjuangan kerasku dulu untuk mendapatkan gelar sarjana, dan memindahkan jumbai topi wisuda ku dari kiri ke kanan. Kupacu sepedaku dengan kencang, agar aku tak terlambat masuk kelas, dan mengikuti banyak mata kuliah beserta tugas-tugasnya.
Sepeda mengingatkanku saat aku begitu sering menaikinya untuk berbagai macam keperluan, termasuk mencari makan keluar, hingga rusak dan sobek jok tempat duduknya. Akupun menambalinya dengan plastik, agar tak begitu malu dengan teman-temanku yang naik motor atau mobil. Juga agar tak terlalu sakit pantatku bersentuhan langsung dengan ujung besi sepeda. Baru pada saat ada uang, maka kubelikan jok baru. Terimakasih, sepedaku..
Oh ya satu lagi, sepeda juga mengingatkanku saat kita berdua menaikinya, mengelilingi taman kota Medan dan duduk-duduk di depan air mancur USU. Tentu suatu hal menyenangkan untuk selalu dikenang.
***
Dulu sekali saat aku masih di pesantren, seorang ustadz pernah berkata padaku, bahwa aku cocok sekali menjadi tentara dan menikahi seorang perawat. Aku tersenyum saja saat beliau berkata seperti itu. Mungkin beliau dapat berspekulasi demikian, karena melihat kulitku yang hitam legam dibakar matahari, bentuk wajahku yang sedikit keras, telapak tangan yang kasar dan tubuhku yang tinggi besar. Aku juga sering mengikuti kegiatan perkemahan pramuka, ya mungkin karena itu. Dan jika aku boleh berandai-andai, maka perempuan perawat yang bakal kunikahi nanti adalah anaknya sendiri, hehehe. Kembang pesantren yang putih cantik dan berpipi merah. 
Tapi siapa yang pernah tahu takdir kita di masa depan. Aku tak pernah menjadi seorang tentara. Entah kenapa aku memilih hidup sebagai seorang jurnalis. Kerjaku menulis berita dan berita saja, hingga aku jarang berolahraga. Tubuh yang kubanggakan dulu kini semakin berubah. Sekarang aku memiliki wajah tembem yang sering dicubiti anakku sendiri. Perutku juga semakin membuncit, lantaran sering minum es dan jadwal makanku yang tidak teratur.
Beruntung aku masih memiliki seorang istri yang setia. Pekerjaannya menulis sama sepertiku, tapi bukan seorang wartawan, hanya seorang ibu rumah tangga biasa yang mengisi waktu luangnya dengan menulis. Beruntungnya lagi dia cantik putih dan berkacamata, hahaha, seperti seseorang yang begitu kudambakan dulu di pesantren.
Setelah lama lulus dari pesantren, aku jarang mendapatkan kabar sang ustadz dan anaknya itu. Terakhir ku dengar kabar putrinya memilih masuk pesantren lagi, dan dia telah menikah dengan seorang ustadz di sana. Hmmm, jodoh Tuhan siapa yang tahu.      
***
Jangan kau terlalu berharap padaku, sebab yang kupikirkan di dunia ini hanyalah uang, uang dan kebahagiaan keluargaku. Jangan terlalu berharap padaku, dan jangan terlalu berkhayal yang tidak-tidak.
Jangan kau anggap aku kekasihmu. Jangan kau anggap ucapku adalah madu, dan kataku adalah buah yang ranum lagi manis, yang dapat kau petik dan nikmati setiap saat. Jangan seperti itu!
Aku hanya butuh teman bicara, denganmu aku bisa mengungkapkan segalanya; muakku, penatku, bosanku, benciku, marahku dan muntabku!
Aku hanyalah kakak bagimu, adikku, yang butuh tempat untuk bernaung dari ratap, sedih, hampa dan air mataku!
***
Kau masih ingat, sayangku, saat kau malu-malu mengangkat telpon dariku. Itu kenangan yang manis sekali bagiku. Kau bilang, kau sangat geregetan, sehingga tak tahu apa yang harus kau lakukan. Hahaha, seperti lagu Sherina saja.
Padahal, kau hanya perlu mengangkat gagang telepon itu, dan kita pun akan larut dalam pembicaraan masa lalu, masa sekarang dan masa yang akan datang. Oh ya, aku juga masih ingat, saat itu aku memintamu menuliskan sesuatu saat kau pergi ke pantai, diatas pasir putihnya. Tulisan itu berbunyi: “I love you, you love me. We still love and miss, till Allah desperates us”. (Kucinta kau, kau cinta aku. Kita akan terus saling mencintai dan merindukan, hingga Tuhan pula yang memisahkan kita).
Dan ternyata Tuhan benar-benar ingin memisahkan kita. Tuhan menghapus tulisan yang kau ukir indah itu dengan ombak dan pasang air laut, membawa tulisan itu kedalam samudera yang paling dalam, menyembunyikan cinta kita. Hingga hanya Tuhan, aku, kamu dan ikan-ikan saja yang tahu betapa besar dan tulusnya cintaku padamu, Ra....
Ya, masih tetap sama: Mencintaimu....
***
 Karena kutahu kau manis, hingga kupinta kau untuk sering tersenyum. Karena aku peduli, hingga kuingatkan kau untuk membeli sepatu hak tinggi. Hingga kau tak dicibiri oleh mereka dengan tampilanmu yang kumal dan lusuh itu. Sukses kau disana, manisku!
***
Aku itu sejak kecil tak tahu siapa bapak kandungku, bagaimana rupanya, dimana dia, apakah sudah mati atau belum. Dan pertanyaan yang paling penting, yang ingin sekali kutanyakan padanya ialah: ‘Mengapa kau tega meninggalkanku yang masih bocah, dan membuat hidup ibuku terlunta-lunta mencari rezeki dan membesarkanku seorang diri?’. Mulia kau ibu, jahannam kau ayahku!
***
Berikan aku pekerjaan, agar aku bisa melupakanmu. Berikan aku kesibukan, agar aku bisa mengenyahkanmu dalam hidup dan mimpiku. Kau tahu, betapa sakitnya hatiku melihat dirimu bersamanya. Kau tahu, betapa hancurnya aku melihat dirimu mengelus wajahnya. Aku cemburu!
***
Untuk apa kau kejar cinta yang bahkan tidak pernah mau untuk menunggumu. Kau hanya akan jatuh terseok-seok seperti orang buta, dan diketawai oleh orang banyak sebagai satu spesies yang bodoh!
***
“Urusan perasaan ini sejak zaman prasejarah, hingga bumi hampir punah tetap saja demikian polanya”. –Tere Liye ‘Hujan’: 172.
“Teknologi bisa menaklukkan apapun, tapi bagaimana teknologi akan mengalahkan ambisi rakus manusia? Ketika mereka akhirnya tidak mau mengalah dan saling merusak”. –Tere Liye ‘Hujan’: 181.
“....., karena begitulah sejatinya relawan. Bekerja dalam lengang”. –Tere Liye ‘Hujan’: 187.
“Masalah terbesar manusia bukan hanya terbatas penyakit fisik seperti kanker, kecelakaan vertigo, atau sakit kepala biasa, melainkan penyakit non fisik. Masalah kejiwaan. Dan berbeda dengan penyakit fisik yang umumnya membutuhkan perawatan pendek, depresi membutuhkan penyembuhan bertahun-tahun dengan kemungkinan kambuh kembali. bayangkan, berapa banyak biaya yang harus ditanggung sistem kesehatan negara. Juga jangan abaikan hilangnya produktivitas, potensi ekonomi dari penderita, maka angkanya lebih besar lagi”. –Tere Liye ‘Hujan’: 192.
“Kehilangan, kegagalan, dan sebagainya adalah memori yang menyakitkan. Sekali bisa dihapus dari memori, maka sumber depresi bisa dihilangkan”. –Tere Liye ‘Hujan’: 193.
“Aku tahu betapa sesaknya rasa sakit itu. setiap hela napas. Setiap detik. Laksana ada beban yang menindih hati kita. tangisan membuatnya semakin perih. Ingatan itu terus kembali, kembali, dan kembali. Kau tidak berdaya mengusirnya, bukan? Aku bisa membuat seluruh kesedihan itu pergi selama-lamanya. Tapi harganya sangat mahal. Apakah kau sungguh-sungguh ingin menghapus kenangan yang menyakitkan itu? Apakah kita akan memilih melupakan atau mengenang semua hal menyakitkan”. Tere Liye ‘Hujan’: 196.
“Jangan pernah jatuh cinta saat hujan. Karena ketika besok lusa kamu patah hati, setiap kali hujan turun, kamu akan terkenang dengan kejadian menyakitkan itu. Masuk akal, bukan?”. Tere Liye ‘Hujan’: 200.
“Karena kenangan sama seperti hujan. Ketika dia datang, kita tidak bisa menghentikannya. Bagaimana kita akan menghentikan tetes air yang turun dari langit? Hanya bisa ditunggu, hingga selesai dengan sendirinya”. Tere Liye ‘Hujan’: 201.
“Ciri-ciri orang yang sedang jatuh cina adalah merasa bahagia dan sakit pada waktu bersamaan. Merasa yakin dan ragu dalam satu hela napas. Merasa senang sekaligus cemas menunggu hari esok. Tak pelak lagi, kamu sedang jatuh cinta jika mengalaminya...”. Tere Liye ‘Hujan’: 205.
“Bagi orang-orang yang sedang menyimpan perasaan, ternyata bukan soal besok kiamat saja yang bisa membuatnya panik, susah hati. Cukup hal kecil seperti jaringan komunikasi terputus, genap sudah untuk membuatnya nelangsa”. Tere Liye ‘Hujan’: 212.
“Tidak ada kabar adalah kabar, yaitu kabar tidak ada kabar. Tidak ada kepastian juga adalah kepastian, yaitu kepastian tidak ada kepastian. Hidup ini juga memang tentang menunggu. Menunggu kita untuk menyadari: kapan kita akan berhenti menunggu”. Orang kuat itu bukan karena dia memang kuat, melainkan karena dia bisa lapang melepaskan....”.  Tere Liye ‘Hujan’: 228.
“Ada orang-orang yang kemungkinan sebaiknya cukup menetap dalam hati kita saja, tapi tidak bisa tinggal dalam hidup kita. Maka, biarlah begitu adanya, biar menetap di hati, diterima dengan lapang. Toh dunia ini selalu ada misteri yang tidak bisa dijelaskan. Menerimanya dengan baik justru membawa kedamaian”. Tere Liye ‘Hujan’: 255.
“Bagian terbaik dari jatuh cinta adalah perasaan itu sendiri. Kamu pernah merasakan rasa sukanya, sesuatu yang sulit dilukiskan kuas sang pelukis, sulit disulam menjadi puisi oleh pujangga, tidak bisa dijelaskan oleh mesin paling canggih sekalipun. Bagian terbaik dari jatuh cinta bukan tentang memiliki. Jadi, kenapa kamu sakit hati setelahnya? Kecewa? Marah? Benci? Cemburu? Jangan-jangan karena kamu tidak pernah paham betapa indahnya jatuh cinta”. Tere Liye ‘Hujan’: 256.
“Penduduk bumi telah melupakan nasihat lama itu. Lebih baik mendengar kebenaran meski itu amat menyakitkan daripada mendengar kebohongan meski itu amat menyenangkan’.  Tere Liye ‘Hujan’: 288.
“Hanya orang-orang kuatlah yang bisa melepaskan sesuatu, orang-orang yang berhasil menaklukkan diri sendiri. meski terasa sakit, menangis, marah-marah, tapi pada akhirnya bisa tulus melepaskan, maka dia telah berhasil menaklukkan diri sendiri”. Tere Liye ‘Hujan’: 298-299.
“Barangsiapa yang bisa menerima, maka dia akan bisa melupakan. Tapi jika dia tidak bisa menerima, dia tidak akan pernah bisa melupakan”. Tere Liye ‘Hujan’: 308.
“Bukan seberapa lama umat manusia bisa bertahan hidup sebagai ukuran kebahagiaan, tapi seberapa besar kemampuan mereka memeluk erat-erat semua hal yang menyakitkan yang mereka alami”. Tere Liye ‘Hujan’: 317.

Komentar

Postingan Populer