SALAH KAPRAH TENTANG ‘ORDE BARU’
i.ytimg.com |
Entah kenapa sekarang ini ‘Orde Baru’ kerap dikonotasikan negatif,
bahkan oleh mereka yang tidak pernah merasakan zaman itu. Lantas, mereka pun
berani mengatakan zaman ‘Orde Baru’ itu sangat kejam, tanpa adanya check and
re-check didalamnya baik melalui studi kepustakaan maupun penelitian. Maka
menurut saya, tuduhan mereka yang tak berdasar itu hanya karena ikut-ikutan dan
ambisi politik untuk memenangkan persaingan saja. Dengan cara melabeli
lawan-lawan politik mereka dengan sebutan ‘antek-antek Orde Baru’, baik kepada
mereka yang berasal dari partai pohon beringin, trah keluarga cendana, ataupun
karena mereka bersepatu lars (baca: tentara) dan mulai bercokol dalam
persaingan politik.
Mereka kerap mengasosiasikan ‘Orde Baru’ sebagai pemimpin bertangan
besi, dimana menggunakan kekuatan tentara sebagai penyokong utama mereka.
Mereka juga menyebut kepemimpinan Soeharto itu diktator hanya karena ia bekuasa
selama 32 tahun, lantas menggeneralisasikan bahwa atas nama produk ‘Orde Baru’
haram hukumnya masuk bursa calon presiden dan pemerintahan di era ‘demokrasi’
ini. Padahal, sejatinya mereka takut kalah dalam perhelatan politik, lantas
sama-sama latah sok merasa trauma. Hahaha. Padahal, mantan Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono sempat mendobrak pakem itu. Bahwa walaupun ia
seorang Jenderal (purnawirawan), ia tetap mampu memimpin negeri ini dengan
sangat baik, bahkan hingga dua periode!
Padahal, kalau
dipikir-pikir ulang ‘Orde Baru’ lah yang berjasa dalam memukul mundur basis-basis
PKI di tanah air. Seandainya mereka tidak ada, mungkin bangsa ini tidak lagi
berazaskan demokrasi, tapi berazaskan komunisme. Seandainya mereka tidak ada,
mungkin politik luar negeri bangsa ini bukan lagi ‘Bebas-Aktif’, tetapi
mengekor Peking. Seandainya mereka tidak ada, mungkin akan ada lebih banyak
lagi Dewan Jenderal dan ulama kita yang mati dibunuh dengan keji, dan
digantikan oleh Dewan Revolusi. Mau? Kalau tidak jangan asal bicara tentang
‘Orde Baru’, apalagi kalau itu hasil dengar sana-sini.
Pun, kalau tidak ada mereka yang menggantikan Soekarno, mungkin
Soekarno benar-benar akan terkena syndrom of power, merasa paling
berkuasa dan mendaulat dirinya sebagai presiden seumur hidup. Bisa makjleb
kita! Soeharto pun banyak berjasa dalam pembangunan negeri ini secara
infrastruktur dan ekonomi, walaupun kala itu masih sangat java centris.
Berbeda dengan Soekarno tahun ’66 yang terlampau sibuk dengan revolusi,
revolusi dan revolusi. Sangat-sangat jauh berbeda dengan Soekarno tahun ’45
yang dikagumi oleh banyak orang dan dunia. Namun sayang, Soeharto pun terkena
penyakit ‘Syndrom of Power’; sulit untuk melepaskan jabatannya, bahkan
menganulir adanya matahari kembar yang siap menggantikannya sebagai presiden.
Hanya saja, mungkin, cara ‘Orde Baru’ yang salah dalam menumpas
antek-antek PKI. Mereka membabat habis sampai ke akar-akarnya, yang bisa jadi
diantaranya merupakan pendukung PKI pasif, dan menggunakan tangan masyarakat
(baca: cuci tangan pemerintah) untuk membumihanguskan mereka. Ya, negara kala
itu jelas sangat keliru dalam hal ini.
Hingga wajar saja sampai dengan detik ini mereka masih menyimpan dendam
kepada anak-cucu ‘Orde Baru’, yang sayangnya dimanfaatkan sebagai komoditi
politik kubu sebelah. Amat-sangat disayangkan! Oleh karena itu, konflik ‘batin’
ini harus sama-sama kita sudahi dengan saling memaafkan. Meskipun saya tahu
tentu ini merupakan satu hal yang sangat sulit untuk dilakukan, terutama di
pihak korban.
Saya pikir generasi baru ‘Orde Baru’ saat ini telah berubah, mereka
tidak lagi menduduki segala macam pucuk pimpinan di negeri ini. Bahkan, ketika
reformasi bergulir, mereka ikut menjadi bagian dalam menghilangkan fraksi ABRI
di DPR dan mundur dari percaturan politik. Namun, tampaknya dewasa ini kita
kembali membutuhkan mereka, mungkin seorang mantan tentara di zaman orde baru,
yang punya kans dan power serta pamor untuk kembali memimpin negeri ini, yang
rasanya semakin bobrok dan terpuruk saja hampir di setiap lini. Bukannya saya
tidak percaya sipil yang memimpin, namun saat ini terdorong oleh situasi, saya
lebih meyakini sosok militer yang jauh dari intervensi sengkuni, asing dan
aseng dalam membangun negeri kita tercinta. Saya pikir, pemimpin yang baik
adalah yang memikirkan siapa pemimpin negeri ini setelahku, bukan malah
berpikir bagaimana caranya agar aku bisa terus memimpin negeri ini. Harus ada
perubahan!
Tulisan ini saya tuliskan setelah membaca buku tokoh serial Tempo
berjudul “Sawo Eddhie Dan Misteri 1965”. Saya pribadi mengagumi sosoknya
terlepas dari sisi kontroversial atas keterlibatannya dalam penumpasan PKI di
ibu pertiwi. Semoga tulisan ini dapat memperkaya wawasan kita dalam berpikir,
dan mengubah stigma kita yang tak berdasar atas frasa ‘Orde Baru’. Oh ya, ada
beberapa kalimat yang paling saya sukai dari Komandan RPKAD ini, yaitu:
- “Kurang lebih, kalau mau hidup senang, hidup susah, mau sakit, mau enak, semua tergantung pada kerja keras kita sendiri”.
- “datang membawa satu koper, pulang pun hanya membawa satu koper”.
Perbedaan Mahasiswa Dulu-Sekarang
Oh ya, saya juga sangat mengagumi perbedaan mahasiswa dulu di zaman
‘Orde Lama’, ‘Orde Baru’ dan ‘Reformasi’. Mungkin karena terdesak dan terdorong
oleh situasi, mereka pun menjadi kritis atas segala kebijakan negeri. Berbeda
dengan mahasiswa sekarang yang cenderung bungkam dengan kondisi negeri, dan
lebih memilih kongkow-kongkow di mall, selfie dan pacaran.
Mereka lebih memilih ‘tenang’ agar tak keluar dari zona nyaman yang telah
mereka dapatkan itu. Tenang-tenang saja, Bah!
Pada saat Orde Lama, misalnya mahasiswa dan tentara berafiliasi
untuk membubarkan PKI, menyusun kembali Kabinet Dwikora, dan menurunkan harga
sandang-pangan (tiga tuntutan tersebut tergabung dalam naskah Tritura –Tiga
Tuntutan Rakyat). Bahkan untuk menyampaikan aspirasi itu mahasiswa sampai mogok
kuliah hingga ketiga tuntutan itu diamini pemerintah, dan hasilnya mereka
berhasil membuat Soekarno mundur dan membubarkan PKI. Tak dapat dipungkiri juga
demo mahasiswa tahun 1998 berhasil melengserkan Soeharto dari jabatannya.
Lantas bagaimana dengan sekarang? Apakah mahasiswa masih berani bersatu padu
untuk melengserkan pemimpin yang mendzalimi rakyatnya? Kita lihat saja!
Komentar
Posting Komentar