AKU BERBOHONG UNTUK MENYENANGKANMU

Temanku Dindila baru saja akan menikah sebentar lagi, namun aku sudah menakut-nakuti dengan beberapa cerita seram pernikahan yang kudapat dari buku-buku yang kubaca. Sejatinya aku cemburu dengan pernikahannya. Jelas saja, Dindila adalah gadis manis yang sopan, tak manja, cekatan sekaligus rajin. Ibarat asupan makanan, dia telah memenuhi empat sehat lima sempurna. Namun apa pasal? Kami yang sudah lama berteman dekat harus berakhir dengan status “sahabat”. Ah! Ini mungkin juga karena keterlambatanku dalam mengutarakan cinta kepadanya.
“Jadi benar kau akan dipersunting, Din?”, tanyaku kala itu.
Ho’o, kamu cemburu?” pancingnya.
“Kamu senang dengan pernikahanmu?” Aku tidak peduli dengan pancingannya dan memburu dengan pertanyaan baru.
“Asalkan kau tahu, boy. Menjadi pengantin itu alangkah menyenangkannya. Nanti aku dibeli dress baru oleh pangeranku. Hu u! Bukan cuma itu, nanti aku didandani, dibungai, dibedaki, dan dicelaki. Alangkah senang! Alangkah senang!” ujarnya tak putus-putus menjawab pertanyaanku yang bernada skeptis itu.
“Asalkan kau tahu..” potongku dengan nada yang kubuat-buat serius.
“Tahu apa??” tanya Dindila yang matanya mulai mendelik penasaran.
Aku pun mulai bercerita. Tentang isi suatu buku yang pernah kubaca, namun kugubah seolah-olah aku menyaksikannya sendiri. Dan, aku berhasil mendapatkan perhatian Dindila.
Waktu itu kulihat seorang pengantin muda nan jelita menangis sesenggukan, sehingga bedaknya rusak. Dan, air matanya menjalari mukanya yang cantik itu. Di rumah aku bertanya pada ibu, “Mengapa pengantin cantik itu menangis?”
Ibu menjawab, “Jika perempuan menangis itu ada dua pertanda. Pertama ia sedang senang hatinya, atau kedua sudah hancur hatinya”.
Alah-alah! Paling-paling pengantin perempuan itu menangis karena sesak pipis, tapi tak berani bilang. Hahaha!” kelakar Dindila yang tak lucu memotong ceritaku yang belum tuntas.
Namun, aku pun tetap melanjutkan ceritanya.
Pada suatu hari, datanglah pengantin itu ke rumah kami. langsung saja ia mencari ibuku. Parasnya pucat kehilangan gairah hidup, bekas air matanya sembab, namun sesenggukan tangis masih sesekali terdengar juga dari hidungnya.
“Mengapa menangis pengantin baru?” tanya ibu.
“Aku tak tahan, ibu,” berkata pengantin baru itu diantara sedu-sedannya.
“Ada apa? Ada apa dengan suamimu?
Dan, pengantin itu menangis lagi, “Aku tak tahan lagi, ibu. Tiap malam kerjanya hanya menggerayangi tubuhku. Dia begitu tambun, dan membuat sesak nafasku, ibu”.
“Bukan hanya itu, ada hal lain yang lebih tidak kusanggupkan, ibu. Ia tak pernah memikirkan makhluk yang sedang kukandungkan ini! Kerjanya main perempuan lain dan berjudi di luar sana! Katanya tubuhku sudah tak enak lagi, sudah berlemak! Padahal, sesekali dia pulang malam dengan aroma bir di mulutnya, tetap saja dia gerayangi tubuhku yang membesar! Aku tak sudi, ibu! Aku tak sudi! Biarkan saja aku mati dengan membawa anakku yang kulahirkan ini ke liang kubur!”
“Tunggu dulu,” lagi-lagi potong Dindila. “Memangnya pengantin itu siapa ibumu?” ucap Dindila penuh tanya.
“Ia tetanggaku, dan sering curhat dengan ibuku,” jawabku singkat. Dan setelah mendengar jawabanku Dindila hanya ber-o panjang. Namun, dari roman wajahnya aku tahu pasti bahwa dia ketakutan juga. Hehehe.
***
Namun, ternyata cerita yang kukarang-karang itu tidak menghalangi pernikahan antara si Dindila dan si buruk rupa itu. Mereka tetap menikah dan kini telah dikaruniai seorang anak lelaki yang lucu. Saat-saat kami sedang duduk-duduk mengenang masa remaja kami. Mulailah aku kembali membuka percakapan, “Aku pernah mendengar bahwa kalau orang-orang bermain-main dengan istrinya, maka anak baru pun akan terlahir ke muka bumi,” ucapku polos yang disambung senyum kemerahan Dindila.
Akupun menyambung cerita bohongku.
Sesudah makan kutanyakan pada ibu tentang benar tidaknya, bahwa bermain-main dengan istri dapat mengakibatkan kelahiran bayi baru. Ibu tak menjawab pertanyaanku. Waktu dilihatnya aku masih juga mengharapkan jawabannya. Maka, ibu pun memarahiku, “Pergi belajar sana!”. Yang disambung dengan gelak tawa lepas Dindila. Senang aku bisa menyenangkan hatinya, walaupun dengan cerita bohong, walaupun aku tak mungkin lagi memilikinya.
Aku pun melanjutkan ceritaku.
Sampai-sampai aku berpikir, bahwa hidup kami laki-laki hanya untuk berangkat kerja, tinggal di kantor untuk sekian jam. Pulang, main-main dengan istri, tidur, bangun main lagi dengan istri, tidur betulan, bangun lagi, kemudian berulanglah hari yang kemarin.
Setelah lama kami tertawa-tawa puas, akhirnya dia yang memberikan lelucon segar, “Boy kau tahu, kenapa perempuan diberikan kecantikan sekaligus kebodohan?”
Kali ini aku benar-benar tidak tahu, jadi aku jawab, “Aku benar-benar tidak tahu untuk perkara yang satu ini”.
“Jawabannya sederhana, karena dengan kecantikan perempuan akan dikejar-kejar oleh lelaki, sedangkan kebodohan agar perempuan cantik mau dengan laki-laki yang jelek”.

Dan, aku pun terus mengisi kebersamaan-kebersamaan kami dengan kebohongan-kebohongan baru, asal bisa dekat dan membuatnya senang. [Sekian]

Komentar

Postingan Populer