ISTANA YANG PALING BERHARGA
Seorang
ibu muda sedang menggoreng tiga butir telor yang paling kecil, yang bisa
dibelinya di pasar. Seorang anak kecil yang lumayan lebih besar dari adiknya,
sibuk bermain dengan dunianya sendiri. Terkadang berjalan kesana-kemari dibelakang
rumahnya itu, sambil menggurutu sendiri. Persis seperti caleg yang gagal di
pileg. Bagaimana tidak? Dia stres, hanya tinggal berempat di rumah gubuk yang
disewakan perbulan itu. Tidak punya teman bermain! kalaupun ada ialah
tetangga-tetangga raksasa baginya, orang-orang Medan yang pergi pagi pulang
malam, demi tetap gajian pada tanggal 1 setiap bulannya.
Sang
ibu masih saja menggoreng telor-telor tersebut, menyulapnya menjadi dadar. Agar
semua komponen keluarga kebagian. Sang ibu tidak terlalu khawatir dengan si
sulung yang diluar, sebab si ibu tahu si sulung anak yang baik. lain lagi
dengan si bungsu yang terus digendong. Ia seperti tidak tahu kesusahan yang
dialami ibunya, ia malah menambah kesusahan itu dengan rengekan tangisnya. Yang
entah minta apa?
Si
suami yang telah merebut hati si ibu, pulang dari pekerjaannya. Ia tampak
sangat lelah, kucuran keringat tak berhenti menetes dari dahinya yang keriput.
Membasahi umurnya yang sudah mulai tua. Tua karena harga, karena ekonomi,
karena semua. Si ibu tak sempat menyapa kedatangan suaminya. Tidak seperti
orang kota yang tersungging senyum, si ibu sibuk membagikan nasi ke piring-piring.
Waktu makan siang versi mereka telah tiba.
Si
sulung dipanggil kedalam oleh ibunya. Cepat-cepat si sulung berlari masuk kedalam
dan berkumpul, tak lupa ia kecup jari-jemari kasar ayahnya. Ayahnya menahan
tangis, menahan pilu. Seorang ayah haram untuk menangis! Ia harus terus-menerus
menampakkan ketegaran. Si sulung seharusnya sudah kelas 2 sekolah dasar.
Ayahnya malu. Malu pada anaknya, malu pada janjinya kepada si istri untuk
membesarkan anak mereka dengan layak.
Sambil
mengunyah nasi, si ibu yang berhati keibuan itu tak mampu lagi membendung air
mata. ia menangis sesenggukkan. Sang suami hanya terdiam dan hanya tertunduk
malu. Si ibu ingat perjuangan suaminya untuk mendapatkan hatinya, bahkan dari
calon tunangannya yang lebih mapan dari si bapak. Sedangkan si sulung mulai sok
berpikiran dewasa. Ia berpikir bahwa ibunya bahagia; memiliki suami yang terus
berusaha menghidupinya bermodal berdagang kerupuk, suaminya yang setia, dan
anak-anak yang tahu diri kecuali si kecil yang belum balig. Baginya keluarga
ini terasa bahagia, sejahtera dan...berharga.[]
Komentar
Posting Komentar