KOMUNIKASI DAN EFEKTIFITAS CERAMAH DA’I
Jika
ditilik dari sumber terdahulu, maka ilmu komunikasi muncul di Yunani dan
berkembang di Amerika. Di Yunani, ilmu ini pertama sekali dikenal lewat buku
karangan filsuf ternama Aristoteles, yang diberi judul ‘De Arte Rethorica’. Lewat isi buku tersebut, murid kesayangan
Plato ini bercerita tentang efektifitas sebuah komunikasi yang kala itu
berfokus pada ruang lingkup ‘ceramah’.
Kini,
mahasiswa strata 1 ilmu komunikasi pasti sudah hafal diluar kepala definisi
ilmu komunikasi menurut Harold. D. Lasswell, yang menyatakan ‘Communication is who, says what, in which
channel, to whom, and with what effect’. Tapi, tahukah kita? bahwa definisi
ilmu komunikasi dari sudut pandang proses itu sudah dinyatakan jauh-jauh hari
oleh Aristoteles dalam bukunya, walaupun tidak lengkap. Yaitu siapa komunikator
(penceramah), apa (isi pesan ceramah), dan siapa komunikan (orang yang menjadi
target ceramah). Meskipun, pada saat itu komunikasi hanya terbatas kepada one way traffic communication, namun
efektifitasnya masih dapat diamalkan oleh para penda’i muda tanah air dalam
menyampaikan seruan agamanya.
Lewat
kata ‘siapa’, berarti seorang da’i mengukuhkan dirinya sebagai sumber
informasi, yang akan menyampaikan dakwah. Untuk itu, da’i yang baik adalah
mereka yang telah mempersiapkan bahan dan mental diri untuk menyeru umatnya
(proses ini dinamakan encoding).
Proses encoding yang telah sempurna
akan dimuat ke dalam sebuah amplop pesan (dalam konteks ceramah, berarti isi
pesan tersebut ialah yang berkesesuaian dengan nash al-Qur’an dan hadist, serta
dalil aqli yang dapat diterima logika).
Biasanya
ceramah menggunakan saluran komunikasi satu arah, dimana komunikator atau
pendakwah aktif menyerukan suatu hal yang dianggap penting dan para
pendengarnya bersifat pasif, serta cenderung hanya mendengarkan saja. Pendengar
yang telah mendengar suatu isi pesan dari suatu rangkaian ceramah akan
memasukkannya kedalam otak mereka. Jika otak menerima, maka itu disebut dengan
istilah ‘decoding’. Decoding terkadang akan menimbulkan
respon dari pihak komunikan atau pendengar. Akan tetapi, dalam hal ceramah yang
bersifat one way communication, adanya
pertanyaan ataupun sanggahan lebih akan bersifat delayed (tertunda).
Menurut
De vito, feedback terdiri dari tiga
bentuk yang bakal terjadi pada diri komunikannya, yaitu: kognitif, afektif dan
psikomotorik. Jika dikaitkan dengan salah satu pekerjaan fardhu kifayah ini (berdakwah), maka setidaknya pendengar ceramah
akan mengalami beberapa efek perubahan, diantaranya: 1. Dari tidak tahu menjadi
tahu akan suatu hukum Islam misal (kognitif), 2. Merasa berdosa karena tidak
mengamalkan ajaran-ajaran agama selama hidupnya (afektif), dan 3. Adanya
kecenderungan untuk berubah baik jiwa maupun raga misal: tobat (psikomotorik).
Meskipun, hal ini tidak dapat digeneralisir sebab sangat bergantung kepad field of experience dan frame of reference pendengarnya.
Berbicara
tentang komunikasi dan efektifitas da’i tentunya saling berhubungan. Sebab
ibarat jembatan, pola-pola komunikasi yang baik akan memudahkan pendengar
memahami ajakan-ajakan penceramah yang memang bermaksud baik. Namun, pada
kenyataannya missperception, missconception,
missunderstanding, misscommunication kerap kali terjadi antara penceramah
dan pendengar yang tak jarang menimbulkan suatu hasil yang kontraproduktif. Hal
tersebut dapat dipahami, karena terkadang antara komunikator dan komunikan
tidak adanya kesamaan. Contoh: Si penceramah yang ingin menyebarkan ajaran
Islam, namun tidak dibarengi dengan
perhatian metode dakwah yang bakal dipakai, serta tidak peka terhadap situasi
lingkungan dan kondisi masyarakat yang menjadi objeknya. Alhasil, dakwah pun menjadi
muflis! Inilah yang disebut ilmu
komunikasi sebagai tidak adanya faktor homophili
(kesamaan). Sebab, jika keadaan sudah sangat heterofili (perbedaan yang amat kontras), maka hanya ada satu
solusi terbaik bagi penceramah yakni adanya rasa empathi (empathi: komunikator
yang juga menempatkan posisinya sebagai komunikan).
Selain
daripada itu, ada lagi hal lain yang perlu mendapatkan perhatian lebih oleh
para pendakwah kita era ini. Bahwa ceramah bukan hanya ajang untuk mengeluarkan
dalil-dalil semata. Tapi lebih dari itu, harus pula memperhatikan psikologi
sasarannya, teknik-teknik penyampaian (sebab tidak ada ceramah yang dipastikan
terbebas dari gangguan-gangguan yang bersifat teknik), serta komponen pembentuk
bahasa yang mumpuni (kemampuan linguistik). Semoga hal-hal yang telah
disebutkan diatas bisa semakin menjadikan da’i-da’i kita yang berefektifitas di
masa kini dan di kemudian hari. Aamiiiinn.
[Sekian].
Komentar
Posting Komentar