BAHAGIA ITU SEDERHANA

Bapak muda itu duduk terpekur di balai bambu rumah susun kami. Dia adalah seorang bapak muda berumur 34 tahun. Namun, pahitnya persaingan kerja membuat garis-garis tua terpampang jelas di dahinya. Tapi satu hal, senyumnya tetap tersungging seolah menyapa siapa saja secara tidak langsung. Bukan disengaja, bukan pula dibuat-buat.
Ia asli orang Sunda. Ia lahir dan besar disana. Namun karena pekerjaannya, umur 34 tahun itu dikurangi 18 tahun dimana ia bertempat di Medan. Ia lama di Medan sebagai penjual kerupuk. Temannya yang asli orang sunda ikut memboyongnya ke tanah Sisingamangaraja untuk bekerja. Mereka pun terdampar di pabrik kerupuk. Berprofesi sebagai distributor kerupuk. Ia memang pernah mencoba pekerjaan lainnya. Namun nampaknya, bau kerupuk sudah menjadi bagian dari hidupnya.
Hari ini, dia masih saja duduk terpekur sambil menengadah pandangannya jauh kedepan. Diam membisu. Dia sibuk dengan lamunannya. Tapi, senyumnya itu tetap saja tidak hilang. Tadi malam dia bercerita padaku bahwa dia menikah saat berumur 24 tahun. Sedangkan, istrinya berumur 16! Istrinya adalah santriwati di sebuah pondok di tanah Pasundaan. Ia menunggu sang istri sambil terus berkomunikasi lewat HP dan sms.
Kini mereka telah dikaruniai 3 orang jagoan yang kesemuanya berjenis kelamin laki-laki. Padahal, si istri yang cantik itu berharap anaknya perempuan, agar punya teman bicara di rusun yang sepi dari hingar-bingar bicara. Semuanya sibuk-semuanya sibuk. Sangking morat-maritnya hidup yang mereka lalui. Anak ketiga lahir didalam kamar mandi. Si suami kala itu merangkap menjadi seorang bidan! Dia bercerita padaku, saat mendapat kepala bayi ketiga itu dari mulut rahim istrinya, seolah-olah ada kekuatan gaib yang mendorong sang bayi keluar.

Satu hal yang membuatku kagum dari keluarga ini. Si istri begitu tabah menghadapi morat-maritnya situasi ekonomi sang suami. Dia tidak pernah mengeluh, tidak pernah memberontak, tidak pernah berteriak. Ia mencuci, mengganti popok bayi, menyuruh anak kedua yang bisulan jidadnya untuk makan. Mereka punya tanah dan padi di Sunda, tepatnya di Garut. Mereka punya keluarga disana. Bahkan anak pertama yang duduk di kelas 4 tinggal disana bersama ibu si suami. Ayahnya meninggal karena diguna-guna orang, perkara pembagian air di ladang. Si suami mengeluh padaku soal klenik yang masih banyak disana. Dan saat kutanya si istri bagaimana dia bisa bertahan? Dia menjawab bahagia itu sederhana.[] 

Komentar

Postingan Populer