RESENSI BUKU KETIGA DARI TRILOGI 5 MENARA “RANTAU 1 MUARA”
Buku
ini merupakan buku ketiga dari trilogi 5 Menara karya Ahmad Fuadi. Buku ini
berjudul “Rantau 1 muara”. Buku ini menceritakan perjalanan Alif Fikri, seorang
santri tamatan pondok pesantren Gontor yang kemudian meneruskan pendidikannya
di UNPAD jurusan Hubungan Internasional. Dengan kepiawaiannya dalam menulis
membuatnya mampu merambah separuh dunia. Seperti perjalanannya di Kanada yang
diceritakan dengan apik oleh A. Fuadi dalam “Ranah 3 Warna”. Namun, semua itu
tentu tidak mudah didapatkannya secara instan. Anak rantau ini lulus pada saat
orde baru runtuh dan masa transisi reformasi masih berjalan merangkak.
Memang
Alif lulus sebagai wisudawan dengan nilai yang baik. Namun, ibu pertiwi yang
saat itu tengah dicekik krisis ekonomi dan dihoyak reformasi yang tidak
menentu, membuat santri ini ketulungan dalam
mencari pekerjaan. Lowongan pekerjaan sebagai buruh tinta pun sedemikian susah
untuk digeluti, sebab kala itu harga selembar kertas terlampau mahal. Seolah
media yang sanggup bertahan ketika itu ibarat seonggok kapal yang sudah tua
namun masih juga diamuk badai nan tak pasti. Disinilah petualangan Alif Fikri
yang merupakan Ahmad Fuadi sendiri dimulai!
Ibarat
batu yang juga bakal pecah jika terus ditetesi air. Maka, usaha keras Alif
terbayarkan saat ia diterima sebagai wartawan ibukota, suatu hal yang
prestisius tentunya. Dalam setiap cerita tentunya tidak akan menarik jika tanpa
ditambahi bumbu-bumbu cinta, maka disana lah hati Alif dewasa tertambat pada
seorang gadis bernama Dinara, seperti halnya dulu dia pernah menyimpan hati
kepada Sarah anak seorang kiai di Gontor, dan juga Raisa yang ditelikung
Randai.
Gaya
tulisan Alif yang mumpuni ketika di Derap (sebenarnya Tempo), semangatnya dalam
memburu berita, cara-caranya dalam ‘memaksa’ narasumber agar mau diwawancara
patut dicontoh oleh mahasiswa ilmu komunikasi kosentrasi jurnalistik.
Mozaik-mozaik pengalaman yang dialami anak Minang ini dalam bertualang,
mengayuh dan berguru ilmu jurnalistik mentakdirkannya untuk mendarat di negeri
Paman Sam. Bahkan saat menjabat sebagai koresponden VOA Indonesia, ia ikut
mengabarkan langsung kala tragedi 11 september 2001 di New York terjadi. Pasca
kejadian yang menyudutkan agama Islam sebagai teroris itu, menggoyahkan hati
Alif. Bukan karena dia seorang muslim, bukan! Tapi karena ada teman pertamanya
disana yang juga ikut menjadi korban. Temannya yang mengajarkannya cara hidup
di USA, temannya yang memberinya tempat tinggal, temannya yang sudah
dianggapnya kakak. Telah meninggalkannya..
Pada
akhirnya, cerita ini bermuara kepada tiga mahfudzat
(kata mutiara dalam bahasa arab) yang pernah dipelajari Alif di Gontor,
Ponorogo. “Man Jadda wa Jada”
(Barangsiapa bersungguh-sungguh, maka akan mendapat), “Man
sabara dhafira” (Barangsiapa
bersabar, maka akan beruntung), dan mantra terakhir: “Man Saara ‘ala ddarbi wasaala” (Siapa yang berjalan di jalannya,
akan sampai di tujuan). Mantra ketiga ini menyiratkan maksud dan tujuan dari
buku ini. Dimana hidup sejatinya dalam pikiran Alif adalah laksana perantauan,
yang menuntun dalam mencari saripati kehidupan, namun pada suatu masa tibalah
saatnya untuk kembali ke akar yang satu, awal. Yaitu muara segala muara. Itulah
filosofi dari maksud judul novel “Rantau 1 Muara”.
Rantau
satu muara adalah kisah seorang anak manusia yang mencari arah, makna, misi,
arti akan jati diri kehidupannnya. Hingga, akhirnya Alif Fikri mengerti bahwa
hidup adalah tempat berkarya, mencari belahan jiwa, dan pencarian diri dimana
hidup bakal bermuara. Ahmad Fuadi menceritakan kehidupannya dengan gemilang.
Segemilang bertualang sejauh mata memandang, mengayuh sejauh lautan terbentang,
berguru sejauh alam terkembang. Penulis asal Bayur, Danau Maninjau ini pernah
tinggal di Washington DC, London, Quebec (Negara Bagian Kanada yang ingin
merdeka), Singapura dan belahan dunia lainnya. Penyuka fotografi ini juga
sedang sibuk membangun yayasan sosial untuk membantu pendidikan anak usia dini
yang kurang mampu, yaitu Komunitas Menara.
Ada
beberapa kalimat narasi atau percakapan dalam novel ini yang mengarah kepada
manajemen media massa, diantaranya:
1. “Sementara
saya tidak bisa begitu saja menaikkan harga jual koran. Karena akan membuat
pembaca keberatan dan itu bisa membahayakan oplah kita”. (hal: 17) atau
“...agar tetap terbit dan pembaca tidak berat dengan harga kertas baru. Harga
tetap sama, tapi kertas akan lebih tipis, ukuran lebih kecil, bahkan jumlah
halaman akan berkurang”. (hal: 17).
2. “Kita
bukan majalah dengan jurnalisme kebanyakan. Karena kita fokus kepada seni
menyampaikan yang sebenarnya. Tugas kita melacak, mencatat dan menyebarluaskan
informasi kepada masyarakat, selanjutnya aparat hukumlah yang kita harapkan
bergerak. Dalam menghidangkan berita kepada masyarakat, kita tidak berharap
puja-puji dan hinaan” (hal: 53) atau “...mengabarkan berita yang sahih dengan
cara sahih. ...Tugas kita mengantarkan kebenaran dimana pun dia berada kepada
masyarakat”. (hal:53).
3. “Pondasi
kerja kita adalah bukan jurnalisme yang memihak satu golongan. Kami percaya
bahwa kebajikan, juga ketidak bajikan, tidak menjadi monopoli satu pihak. Kami
percaya bahwa tugas pers bukan menyebarkan prasangka, justru melengkapinya.
Bukan membenihkan kebencian, melainkan mengkomunikasikan saling pengertian.
Jurnalisme majalah ini bukanlah jurnalisme untuk memaki atau mencibirkan bibir,
juga tidak dimaksudkan untuk menjilat atau menghamba. Yang menjadi komando
bukan kekuasaan atau uang, tapi niat baik, sikap adil, dan akal sehat”.
(hal:56).
4. ...Mungkin
juga ini asal-muasal istilah duit panas. Sebenarnya aku sudah punya beberapa
pertanyaan kritis untuk liputan ini, tapi aku coret satu per satu. Aku
menyumpahi diriku sendiri. Amplop ini terus terasa, mengingatkan aku sudah
dibayar. (hal: 61) atau “...Kami-kami ini punya dapur yang harus mengepul.
...Setiap orang perlu teman. Kalau mau terkucil, silahkan aja, tapi artinya
tidak ada berita untuk kau!” (hal: 62).
5. ...Ketika
kuasa besar tapi gaji kecil, muncullah rayuan untuk menyalahgunakan peran
wartawan untuk uang dan kekuasaan. ...Ketika ada berita yang bisa dibeli,
dipesan, diatur sesuai selera, saat itulah media tergadaikan kepada kuasa.
(hal:79).
6. ...Memang
hidup bisa kejam di rapat hari senin. Tiada pilih kasih kalau sudah bicara
standar “Layak Derap”. (hal:85).
7. “Secara
duit memang beruntung sekali. Tapi dari kepuasan kerja, ya di media nasional
seperti Derap-lah tempatnya. Kalian bisa menuliskan berita yang bisa memberikan
pengaruh kepada kemajuan bangsa ini. Kalau aku sekarang kan tergantung
bagaimana angle yang diinginkan dari
kantor pusat di luar sana. Pertimbangan kami adalah menghasilkan berita yang
berkualitas dan bisa dijual ke pasar dunia. Bukan karena pertimbangan kebaikan
untuk negara dan rakyat Indonesia. (hal:106).
8. ...Ternyata
ada juga pejabat tinggi yang mau berpikiran maju untuk memprotes dengan
tulisan... (hal:128).
Dari
kalimat narasi ataupun dialog yang tertera diatas. Dapatlah disimpulkan bahwa
kesemua poin tersebut bermuara kepada
manajemen media massa. Manajemen media massa adalah bagaimana seni untuk
mengelola penerbitan suatu media massa. Dimana surat kabar yang laku di pasaran
tentunya menggunakan pola uses and
gratification dan teori agenda
setting media. Dalam contoh kasus Derap, mereka melakukan teori agenda setting setiap rapat yang
dilakukan pada hari senin, untuk menentukan isu apa yang sedang hangat di
publik. Sebab, sejatinya berita itu muncul dari masyarakat dan itu berarti
media membicarakan kebutuhan dan kepuasan pembacanya (masyarakatnya).
Semakin
banyaknya pembaca surat kabar, maka semakin berkredibilitas lah media tersebut.
Sebab, media yang berkredibilitas adalah media yang memikirkan pembacanya dan
pihak pemasang iklan. Jumlah pembaca yang besar akan mendorong pemasang iklan
untuk masuk, apalagi jika harga pasang iklan yang murah. Iklan yang banyak akan
menjadikan perusahaan kaya, dan tentunya menyejahterakan wartawan yang sering
dikonotasikan negatif sebagai kuli atau buruh tinta. Hal tersebut lah yang
akhirnya mampu untuk meminimalisir kemunculan wartawan bodrex ataupun wartawan amplop yang tidak pernah diinginkan media
sebagai watchdog negara. Pada
akhirnya, semua membentuk suatu siklus berbentuk putaran, dimana kerja baik
wartawan merupakan penentunya.[Sekian]
Komentar
Posting Komentar