Literasi Media dan Pemberdayaan Khalayak

Ciri-ciri media massa ialah komunikator bersifat terlembaga dan kredibel, komunikan yang anonim dan heterogen serta luas, pesan yang bersifat umum dan satu arah, saluran melewati serangkaian proses teknologi, dan efek media yang cenderung delayed (tertunda). Sifat komunikator yang kredibel dan efeknya yang cenderung delayed lah yang menjadi fokus utama kami dalam pembahasan literasi media dan pemberdayaan khalayak.
Selain itu, media massa juga tidak dapat terhindar dari adanya teori TEPM (Teori Ekonomi dan Politik Media) milik Vincent Moscow, yang menyatakan bahwa media massa cenderung menjadi wahana yang seringkali digunakan untuk kepentingan ekonomi dan politik dari kelompok-kelompok yang ada. Apalagi, jika pemilik saham suatu media merupakan seorang pengusaha yang berorientasi politis.
Menurut A. J. Liebling media berjalan dengan baik jika memenuhi tiga belahan berikut secara proporsional, yaitu:
1.      Belahan ideal,
2.      Belahan sumber daya manusia,
3.      Belahan bisnis
Namun, pada kenyataannya media komersial yang cenderung mengejar profit. Pada akhirnya media menawarkan kemasan tayangannya tanpa mengedepankan nilai-nilai atau norma yang berlaku dalam regulasi formal (UU Pers No 40 Tahun 1999), dan regulasi informal (Kode Etik Jurnalistik), serta Komisi Penyiaran Indonesia yang menetapkan P3 (Pedoman Perilaku Penyiaran) dan SPS (Standar Program Siaran) sebagai penjabaran UU No 32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran.
Pentingnya Membumikan Literasi Media
Meskipun paradigma sekarang ini menunjukkan masyarakat mulai cerdas dalam mengonsumsi isi tayangan suatu media. Namun, penerapan Uses and Gatification masih berkutat pada level 30% di Indonesia dan 70% lainnya masih awam dan cenderung bersikap pasif, homogen serta atomisitis (Bullet Theory).
Padahal, media tidak pernah terlepas dari agenda setting media, framing, representasi perempuan dan anak yang salah, hyper reality, serta yang paling berbahaya yaitu konglomerasi media. Konglomerasi media tidak hanya  usaha pemilik media untuk menerapkan sistem konvergensi media, menyajikan konten yang multi channel, tapi juga mematikan media-media kecil yang berada dibawah cengkeramannya.
Oleh karena itu, pentingnya membumikan literasi media mutlak diperlukan, sebagai langkah untuk memberikan pemahaman kepada khalayak tentang isi media yang baik dan layak dikonsumsi. Apalagi, di zaman rimba informasi sekarang ini, karena pendidikan literasi media ibarat kompas yang menunjuki kepada arah tontonan yang dapat menambah kewaspadaan ketika mengonsumsi isi dari media.
Konten Media dan Pemberdayaan Khalayak
            Konten media memiliki banyak jenis, seperti berita, iklan, karikatur, kekerasan, horor, pornografi, dan masih banyak lagi. Setiap konten media memiliki nilai tersendiri, seperti contoh: berita memiliki unsur-unsur seperti really happens, holy fact, dan tendensi to act to (kecenderungan pasti terjadi). Namun, saat isi pemberitaan dibuat berdasarkan kepentingan pihak tertentu, maka isi berita tersebut menjadi cenderung ke arah negatif, menurunkan nilai dan norma masyarakat, yang paling parah yaitu menciptakan khalayak yang berkubu-kubu dan saling bersitegang antara satu kelompok dengan kelompok yang lain.
            Oleh karena itu, dari pemaparan diatas dapatlah dipahami bahwa media tidak selamanya kredibel dan efeknya yang cenderung delayed menyebabkan kita sebagai komunikannya harus pintar-pintar dalam mengonsumsi isi tayangan suatu media. Pemberdayaan masyarakat melalui pendidikan literasi media mampu diwujudkan dengan awalan memperkenalkan konten-konten media terlebih dahulu kepada khalayak dengan menjelaskan baik maupun buruknya isi yang terkandung dalam tayangan tersebut. Dalam hal anak-anak, orangtua adalah tonggak utama dalam mengarahkan anaknya melek/sadar media. Orangtua atau suatu keluarga pun dapat memberdayakan pendidikan literasi media kepada sang anak dengan mengawasi dan membimbing si buah hati saat sedang menonton, mendengarkan ataupun sedang membaca sesuatu.
Prinsip dan Faktor Penghambat Melek Media
Prinsip-prinsip melek media sebagai berikut:
1.      Literasi media adalah sebuah kontinum, bukan sebuah kategori. Dalam hal ini tingkatan melek media seseorang dipengaruhi tingkat pemahamannya akan isi ataupun konten suatu media. Jadi, tingkatannya bersifat kontinyu sesuai kemauannya untuk memahami literasi media.
2.      Literasi media bersifat multidimensi yang mencakup dimensi-dimensi kognitif, emosional, estetis, dan moral. Dalam prinsip ini, orang mengonsumsi suatu media berdasakan keeratannya dengan salah satu dari empat  multidimensi diatas, ataupun keempat-empatnya.
3.      Tujuan literasi media adalah memberik kita kontrol yang lebih besar atas interpretasi, karena semua pesan media merupakan hasil konstruksi. Disini, pendidikan literasi media adalah lawan yang seimbang untuk tayangan yang telah dikonstruksi oleh media, sehingga mampu menyadarkan khalayak dalam memaknai dunia yang sebenarnya, dan bukan berdasakan sumber layar kaca semata. (W. James Potter (1998) dan Kotilainen (2001: 3).
Kajian Buckingham dan Domaille (2002) di 52 negara menunjukkan bahwa penghambat pengembangan literasi media, adalah:
1.      Konservatisme sistem pendidikan
2.      Terus berlanjutnya resistensi terhadap budaya pop yang bernilai penting untuk dipelajari
3.      Potensi ancaman dalam bentuk-bentuk ‘pemikiran kritis’ yang melekat (inherent) pada pendidikan media
Hal ini dapat dilihat dari contoh kasus UNICEF yang berhenti mendanai YKAI (Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia) yang kini bernama YPMA (Yayasan Pendidikan Media Anak). Karena melihat tekanan euforia pers, konsumerisme media, dan belum menjadi kurikulum resmi. Sehingga, menjadi faktor utama penghambat pendidikan literasi media di negeri gemah ripah loh jinawi ini.

            Namun, apapun yang menjadi penghalang utama pemberdayaan khalayak melalui literasi media. Literasi media haruslah tetap berjalin-kelindan, hidup dan bernafas perlahan tapi pasti. Tahapan kegiatan media literasi yang pernah ada dan sedang kita bangun kembali mampu menjadikan khalayak kita seperti Inggris, Irlandia, Australia, dan Kanada yang sukses menerapkan literasi media dalam mengonsumsi media. Asa itu masih ada, jika kita mau bersama-sama untuk mengubahnya ( la yugairu bi qaumin hatta yugairu ma bianfusihim)[] 

Komentar

Postingan Populer