PERAN DOSEN SEBAGAI FASILITATOR

Baru-baru ini seorang dosen curhat disela-sela jam pembelajaran. Ia mengeluhkan hidupnya sebagai ibu rumah tangga sekaligus merangkap kuli di instansi pendidikan. Ia mengeluhkan anak lajangnya yang susah bangun pagi, rumahnya yang sepi, suaminya yang sering pergi. Dan, mahasiswa yang kerap berkomentar tentang nilai yang didapat mereka. Sang dosen benar-benar frustasi!
Pantas saja baru-baru ini sang dosen merasa sedikit bisa bernafas lega. Dengan perubahan metode pembelajaran di Indonesia, dari Teacher Learning Center menjadi Student Learning Center. Setidaknya, setelah menjelaskan beberapa materi, beliau bisa langsung duduk sambil mendengarkan mahasiswa mempresentasikan materinya.
Wajar, dosen juga manusia. Ia punya anak yang belum tentu bisa diurus dengan baik. Belum lagi kasus rumah tangga yang siapa tahu. Oleh karena itu, mahasiswa yang sering komplain nilai menyebabkan kuping dosen juga bisa merah. Se-intelektual apapun mereka. Hingga, baru-baru ini dosenku secara resmi menempatkan tanggal tertentu sebagai hari komplain nasional. Sehingga, dia tidak bakalan mendengarkan komplain-komplain lainnya. Cukup satu gelombang saja!
Dalam komplain biasanya mahasiswa protes terhadap nilai yang diperolehnya. Mahasiswa idealis seperti ini biasanya cenderung tanpa dosa dan polos dalam menanggapi permasalahan nilai. Mereka cenderung lupa terhadap realita yang terdapat pada kertas ujian mereka, juga lupa tugas-tugas mereka yang cenderung dikerjakan acak-adul. Tapi, tentu tidak semua.
Terkadang, benar juga ketika dosen merindukan sms yang berbunyi “Bu, terima kasih ya, saya dapat A”. Bahkan seumur hidup dosen tidak akan mendapatkan sms bernadakan seperti itu. yang ada malah “Ibu, kenapa saya D?”, “Ibu, kenapa saya C?”, “Ibu, kok saya B?”. Hampir tidak ada “Ibu, koq saya A?”.
Oleh karena itu, konsep dosen sebagai fasilitator benar-benar meringankan ibu yang anaknya susah bangun subuh tadi. Dan, ibu-ibu dosen lainnya seluruh Indonesia. Lagipula, demokrasi sekarang menjadikan mahasiswa menjadi lebih pintar dari dosennya, yang mungkin lupa memasak makan siang untuk sang suami. Toh, sama-sama sibuk!
Kita sebenarnya dan seharusnya lebih bisa menghargai maha guru tersebut.[]

Komentar

Postingan Populer