MEMBANGUN EKONOMI KEUMATAN
Kemajuan
suatu bangsa diukur oleh kesejahteraan yang dimiliki masyarakatnya. Dan,
berbicara kesejahteraan berarti bicara tentang uang, ekonomi, tingkat
pendapatan dan belanja suatu negara. Sebab dengan uang itulah, sebuah negara
membangun negerinya, menyekolahkan anak-anak bangsanya, dan mempekerjakannya
pada sektor pekerjaan yang layak, dan mendapatkan jaminan kesehatan yang layak
pula. Jika semua hal itu sudah dilakukan semestinya, maka ia akan berputar
otomatis menyerupai siklus simbiosis
mutualisme, dimana perputaran uang yang kencang akan menjadikan suatu
negeri makmur di mata dunia.
Sejauh
ini, kita telah mengetahui setidaknya tiga sistem ekonomi, seperti Ekonomi
Kapitalisme yang banyak diterapkan di Negara Barat, Ekonomi Sosialisme yang
banyak muncul di negara Eropa Timur, Tiongkok, Kuba dan Korut, dan Ekonomi
Islam yang baru-baru ini muncul dan membumi di beberapa belahan dunia. Didalam
kapitalisme, kita mengenal teori Adam Smith yang mendasari munculnya pasar
persaingan bebas yang akan mengatur segalanya. Sebab, sistem perekonomian
kapitalis mengasumsikan manusia sebagai makhluk yang serakah dan serba
materialistis. Perputaran arus uang dalam sistem ini memang sangat kencang,
karena setiap komponen yang ada saling menelikung dan adu sikut dalam mendominasi
setiap cengkeraman usahanya. Ini lah yang mendasari munculnya istilah
konglomerasi yang menjadi penumpang VVIP
dalam kelas bisnis kapitalisme.
Melihat
hal itu, Marx tidak terima jika yang miskin tetap miskin dan yang kaya terus
menjadi kaya dalam sistem ekonomi bernama kapitalisme. Marx meyakini bahwa
kesejahteraan rakyat bakal muncul, jika alat-alat produksi dikuasai negara
sentral dengan tujuan menyejahterakan kaum proletariat dan mencegah kaum
borjuis untuk kembali menindas. Hingga, nilai-nilai Marx ini diimplementasikan
sebagai bentuk ekonomi sosialisme-komunisme yang mementingkan persamaan dan
kesetaraan. Namun, berjalannya waktu menjadikan nilai-nilai ini dijadikan dogma
oleh sebagian oknum untuk menindas inisiatif dan kreatifitas, serta mengancam
mereka yang tak sepaham sebagai pengkhianat.
Dalam
perkembangan zaman, nilai-nilai Islam pun banyak ambil peran dalam perekonomian
bangsa dan negara. Seperti bermunculnya bank-bank syariah, asuransi syari’ah, dan segala sesuatu yang lain yang juga
mengatasnamakan syari’ah. Hal ini
menunjukkan bahwa Islam juga memiliki aturan tersendiri dalam perekonomiannya,
yang tentunya berazaskan kepada nilai-nilai etik yang disarikan Islam itu
sendiri. Diantaranya dikutip dan disarikan dari Al-Qur’an sebagai kalamullah, yaitu:
1. “...agar
kekayaan jangan hanya beredar diantara orang-orang kaya diantara kamu” (surat
al-Hasyr, ayat 7),
2. “Manusia
itu adalah umat yang satu –umatan wahidah” (surah al-Baqarah, ayat 213),
3. “Sesungguhnya
Allah menyuruh berlaku adil dan menegakkan kebajikan” (surah an-Nahl, ayat 90)
Ayat-ayat
diatas memang tidak secara gamblang menjelaskan keterkaitannya dengan
perekonomian Islam, tapi secara tersirat telah mendorong umat Islam untuk
membagikan sebagian dari hartanya kepada mereka yang tidak mampu, sebab muslim
dan muslim yang lain adalah serupa satu tubuh. Ini mencerminkan penolakan Islam
kepada individualitas dari sistem perekonomian Kapitalisme yang menunjukkan ‘Loe-loe, Gue-gue’, dan membuktikan bahwa Islam peduli kepada
sesamanya berdasarkan ajaran luhur yang dititahkan Allah kepada hambanya. Mari,
membangun perekonomian umat demi baldatun
thayyibatun wa rabbun ghaffur. [Wallahu
‘alam bish shawab]
Komentar
Posting Komentar