KUMPULAN OPINI (PERMASALAHAN NEGERI DAN PENYELESAIANNYA 1-5)

MEGAKORUPSI E-KTP
Korupsi itu ada di legislatif, yudikatif hingga eksekutif. Semakin besar proyek yang dikorup, maka tentu tidak sedikit pemain yang terlibat di dalamnya. Semoga tertangkap! Istilah Islamnya syamil kamil (keseluruhan). Semua menciptakan korupsi yang luar biasa dan membutuhkan investigasi yang komprehensif.
Korupsi politik adalah muara dari segala macam korupsi. Salah satunya korupsi e-KTP yang disebut-sebut sebagai skandal megakorupsi, selain karena merugikan negara sebanyak Rp. 2,3 triliun juga melibatkan nama-nama besar di dalamnya (terutama Komisi II DPR-RI kala itu). Oleh karena itu, masyarakat pasti mendukung upaya KPK untuk mengusut tuntas kasus ini. Tapi tentu, KPK membutuhkan lebih dari sekedar dukungan. Sejauh ini yang telah ditetapkan duduk di bangku pesakitan ialah Sugiharto, mantan Direktur Pengelolaan Informasi Administrasi Kependudukan dan Pencatatan Sipil dan Irman, mantan Dirjen Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kemendagri.
Jika orang-orang besar yang disebutkan namanya itu benar, maka persepsi publik yang tak lekang bahwa tindakan korupsi berjamaah masih menjadi budaya kronis di tubuh pemerintahan kita. Sekaligus, penjarahan uang rakyat seperti ini, sekali lagi telah sangat melukai perasaan dan hati rakyat. Alangkah lebih baik, jika proses persidangannya berlangsung transparan.

Namun, transparansi disini, tidaklah bermakna berlangsungnya sidang harus disiarkan secara langsung oleh stasiun televisi Indonesia. Mengambil pelajaran dari siaran langsung sidang kasus pembunuhan Mirna tahun lalu, siaran langsung secara membabi buta hanya akan membangun opini publik yang ditakutkan akan mengganggu independensi para hakim.  
***
FENOMENA SINETRON INDONESIA
Berbicara fenomena perfilman di Indonesia, terkhusus sinetron (sinema elektronik) memang tidak akan pernah ada habisnya. Sinetron di Indonesia kerap mengangkat kisah tentang cinta yang penuh dengan lara, intrik serta konflik. Seperti misalnya kisah cinta seorang gadis dan seorang pria yang sering terhalangi oleh pihak keiga atau kisah seorang gadis cantik yang tertindas hidupnya, dan pihak antagonis yang selalu murka jika melihat orang lain bahagia.
Hal diatas sekilas memang benar-benar dapt mewakili realitas masyarakat kita antara satu dengan yang lain dalam berhubungan sosial. Mungkin pula gejala ini terjadi karena masyarakat kita telah bosan dengan pemberitaan-pemberitaan negatif seputar korupsi, pembunuhan, penganiayaan dan lainnya yang membuat bulu kuduk merinding. Sehingga, masyarakat kita beralih mencari alternatif lain, salah satunya ialah hiburan yang dikemas dalam bentuk tayangan sinetron, yang jika di Asia, terkhusus di Indonesia sangat digemari ibu-ibu rumah tangga.
Sinetron Tidak Ada Matinya
Seakan tiada matinya, sinetron tersebut tetap terus diproduksi dan ditayangkan oleh televisi swasta tanah air, dua diantara stasiun televisi tersebut seperti RCTI (Rajawali Citra Televisi Indonesia) dan SCTV (Surya Citra Televisi Indonesia). Hal itu terjadi mungkin menurut saya, karena adanya segmentasi penonton yang jelas, sekaligus banyak menghasilkan pundi-pundi keuntungan. Seperti misalnya secara profit pendapatan, share juga rating yang tentunya banyak mendatangkan pengiklan. Terbukti, kedua televisi tersebut unggul dalam hal perolehan slot iklan di setiap tayangan sinetronnya.
Kelemahan Sinetron Indonesia
Sayang, untuk adegan-adegan tertentu, seperti bertarung misalnya, masih memiliki daya efek yang sangat kurang. Salah satu yang paling parah dan menjadi bahan olok-olokan dulu ialah tayangan sinetron di Indosiar yang memunculkan efek animasi burung dan naga yang bisa terbang. Sinetron now become to be ridicule in social media like Instagram by young people (Generation Z) in Indonesia.
Alhamdulillah, sekarang ini tayangan seperti itu sudah tiadak ada lagi. Namun, tampaknya kita perlu belajar membuat efek animasi yang baik dari negeri jiran tetangga, yang banyak menghasilkan animasi bagus semisal Boboiboy serta Upin-Ipin yang melegenda.
Dampak Positif dan Negatif Sinetron
Dibalik kontroversialnya, namun sinetron juga memiliki dampak positif. Seperti: 1) Dapat menjadi sarana untuk menanamkan nilai-nilai moral, bahkan kerap mengandung pesan-pesan baik suatu agama. Serta, 2) semakin meneguhkan kodrat alam, bahwa orang dengan sikap jahat tidak akan pernah menang. 3) Tidak dapat dipungkiri juga, bahwa sinetron dapat menjadi semacam alat relaksasi di tengah kepenatan setelah beraktivitas sehari-sehari. 4) Memajukan produksi sinetron dalam negeri sendiri. setelah sempat layar kaca Indonesia digempur oleh tayangan-tayangan impor yang sampai saat ini masih ditayangkan. Seperti drama Turki, dan India serta Korea.
Musabab di negara lain juga terdapat sinetron dengan peristilahannya masingmasing. Jika di Turki terkenal dengan dramanya, India juga wabah Korea yang sempat melanda Indonesia, maka dulu Indonesia juga sempat heboh dengan masuknya telenovela asal Amerika Latin dan drama musikal Taiwan (Meteor Garden). Dua diantara telenovela yang paling dikenang masyarakat Indonesia ialah Betty La Fea dan Carita de ‘angel. Lucunya, saat saya bertandang ke Malaysia beberapa tahun lalu, saya masih ingat sinetron “Bawang Merah, Bawah Putih” masih laku keras disana, padahal di tanah air episode sinetron tersebut sudah tamat.
 Meski demikian, guna memenuhi kaidah tayangan yang baik dan bermutu serta mendidik. Bisa serta aman ditonton oleh anak-anak diperlukan media yang berperan dan menaungi akan kebutuhan tersebut, seperti “Si Bolang” mislanya. Televisi berita juga perlu didukung sebab telah memenuhi peranannya sebagai watchdog demi transparansi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Ciri khas dan buruk dari sineton Indonesia, diantaranya:
1.      Adegan nangis/tertindas kerap melambangkan ketidakberdayaan dan terlalu berpasrah diri,
2.      Pemeran utama pasti orang baik (protagonis), yang menimbulkan tidak beragamnya isi cerita,
3.      Pemeran antagonis selalu mengintip dan melotot serta sering mengumpat dalam hati, “Lihat saja pembalasanku nanti!” di kala melihat kebahagiaan orang lain,
4.      Orang kaya selalu menjadi orang jahat yang gemar menindas orang lemah/miskin,
5.      Pemeran orang baik selalu bersikap seolah seperti malaikat tanpa dosa dan cacat cela,
6.      Konflik biasa berupa perebutan harta warisan atau persoalan cinta yang berbelit restu masing-masing atau salah satu pihak, dan kerap persinggungannya menimbulkan pertikaian.
Hal diatas jika tidak dirubah tentu dapat menimbulkan dampak-dampak buruk seperti menjadi contoh yang tidak baik bila ditonton oleh anak-anak. Musabab tayangan sinetron ini kerap melegalkan budaya yang hedonis dan pacaran. Banyaknya adegan yang memepertontonkan kekerasan dan penyiksaan secara fisik kepada orang lemah/jongos/miskin juga menjadi persoalan tersendiri nantinya di kemudian hari.
Pada akhirnya, sinetron disukai karena memang berkesesuaian dengan realitas tang terjadi di dunia nyata, dan cenderung mengangkat permasalahan-permasalahan pelik dalam suatu hubungan rumah tangga/keluarga. Tak dapat dipungkiri di era perkembangan gadet dan informasi saat ini, sinetron masih mendapatkan tempat di hati masyarakat Indonesia. Lantas menurut saya, langkah terbaik untuk meredam pengaruh bururk sinetron bukanlah dengan cara menghilangkannya dari ruang keluarga Indonesia. Apalagi, jika memang sinetron tersebut telah bertransformasi menjadi budaya masyarakat kita untuk menghibur diri. Oleh krena itu, saya rasa lebih baik diselipkan saja pesan-pesan moral yang membangun, dan membuang pengaruh buruk yang ada didalamnya slowly and steady (perlahan tapi pasti). Sekian.  
***
MASALAH KLASIK IBUKOTA
Pengangguran, timbunan sampah, perumahan kumuh, banjir, tingginya angka kriminalitas, urbanisasi, kemiskinan dan kemacetan serta pelanggaran terhadap tata rambu lalu lintas adalah masalah klasik ibukota. Salah satunya yang kerap menjadi primadona ialah kemacetan, sehingga para kandidat pemimpin suatu ibukota biasanya berlomba-lomba untuk mengurai masalah ini dengan janji-janji mereka. Alhamdulillah, jika di kemudian hari, sang pemimpin yang didaulat dapat merealisasikan janji-janjinya, bukan malah memberangus kinerja pemimpin terdahulu jika memang sekirangnya tetap berguna dalam mengurangi tingkat kemacetan di Ibukota. Musabab biasanya budaya politik di negeri ini melazimkan pemimpin baru dengan kebijakan baru, sedangkan kebijakan lama yang berguna mau dibawa kemana? Jangan sampai malah terbengkalai.
Yang pasti kemacetan benar-benar telah menyebabkan stres berkepanjangan warga ibukota, dan terkhusus warga asli pribumi yang tercengang melihat semakin bertambahnya muatan kendaraan di badan jalan. Suatu dampak perkembangan zaman yang memang tak dapat ditolak. Untung saja kemunculan gadget dapat dipergunakan sebagai pengulur/membunuh waktu (wasting time) di tengah kepenatan dan kebosanan akan kemacetan.
Telah banyak memang solusi yang ditawarkan pemerintah untuk mengurai kemacetan ini, mulai dari angkutan umum yang menjadi andalan, himbauan menggunakan sepeda untuk jarak tempuh pendek, bus double deck, KRL, TOL, transportasi online dan sekarang yang dikabarkan telah rampung 80% dan siap eksekusi pada tahun 2018 ialah MRT atau Kereta massal cepat. Namun, kesemua hal itu tidak akan ada artinya, jika budaya gengsi menaiki kendaraan pribadi masih tersemat di hati masyarakat kita, terhusus bagi mereka golongan menengah ke atas (middle in high). Layanan yang tidak pernah prima dari kendaraan umum seperti oplet, bus tingkat, hingga metromini semakin membuat masyarakat beralih mengandalkan kendaraan pribadi. Oleh karena itu, rasa akan keamanan dan kenyamanan dalam menaiki angutan umum mutlak harus diutamakan, selain juga daripada kesadaran golongan ini, bahwa mereka ikut menjadikan ibukota sebagai kota mati nantinya, dimana mobil tidak bisa lagi bergerak sangking macetnya.
Urbanisasi Sebagai Faktor Kemacetan
Seolah-olah hanya mudik lebaran sajalah yang mampu mengurai kemacetan di ibukota, sekaligus menunjukkan bahwa urbanisai ikut menyumbang kemacetan di ibukota. Wajar saja menurut saya hal ini terjadi, “Dimana ada gula, disitu ada semut”. Masyarakat di daerah tentu berbondong-bondong akan pergi ke ibukota untuk mencoba peruntungan, ketimbang di daerahnya yang tak mendapat jatah kue pembangunan dengan rata. Pemerintah daerah harus membenahi wilayahnya masing-masing. Sehingga warga-warga desa lainnya bisa tetap mendapatkan penghidupan layak di daerahnya.
Ada 2 faktor yang menyebabkan tingginya angka urbanisasi di ibukota, diantaranya: 1) Push factor (faktor pendorong): kondisi di daerah asal yang tidak menjanjikan. 2) Pull factor (faktor penarik) kota besar dengan segala keglamoran dan kemakmurannya membuat warga daerah lain bermimpi untuk menggapai kesuksesan di kota. Untuk itu, sebagaimana dikutip dari sindonews.com (diakses pada 13 Maret 2017) ada lima solusi guna mengurai masalah diatas, yakni:
Pertama, menyebar pusat pertumbuhan ekonomi di daerah-daerah. Selama ini kita sibuk membangun di Jakarta, sehingga akhirnya semua kue pembangunan tersedot ke Jakarta. 
Kedua, membangun infrastruktur di daerah, dan juga luar Pulau Jawa. Para pemimpin negeri ini sudah sangat sadar bahwa pembangunan harus dilakukan sampai ke pelosok negeri ini. Berbagai konsep didorong untuk itu. Namun lagi-lagi, dalam pelaksanaannya masih saja terfokus pada Jakarta dan Pulau Jawa.
Ketiga, menguatkan kembali perekonomian lokal. Jika ekonomi lokal kuat maka kesempatan untuk mengembangkan diri akan makin tinggi, yang dengan sendirinya akan mengeliminasi faktor pendorong urbanisasi. Kita harus sadar bahwa jika ingin ekonomi Indonesia kuat, kita butuh banyak pusat ekonomi, bukan hanya di Jakarta khususnya dan Pulau Jawa umumnya.
Keempat, memaksimalkan peran otonomi daerah. Harusnya dengan otonomi daerah, salah satu indikator keberhasilan adalah kemajuan ekonomi. Masyarakat suatu daerah harus lebih kritis terhadap para pemimpin daerahnya yang tidak bisa memajukan perekonomian lokal. Salah satu caranya adalah tidak memilihnya kembali saat pemilihan kepala daerah jika yang bersangkutan maju kembali. 
Kelima, membangkitkan kesadaran para perantau bahwa bukti kesuksesan adalah bukan kemampuan membawa sebanyak-banyaknya sanak saudara dan orang sekampungnya merantau ke kota besar tempatnya tinggal. Namun, keberhasilan terbesar bagi perantau idealnya adalah kemampuan untuk memajukan daerah asalnya, sehingga sanak saudara serta tetangganya bisa hidup mandiri. 
Hanya dengan cara itulah tiap daerah di Indonesia bisa maju. Jika para perantau sibuk mengajak bibit-bibit terbaik untuk ikut merantau, sudah barang tentu daerah asalnya akan mengalami defisit sumber daya manusia yang mumpuni sehingga tidak bisa berkembang dengan baik.
Sambil menunggu terwujudnya transportasi massal, terlebih lagi yang berbasis rel, ada baiknya Jakarta memaksimalkan konektivitas antarmoda. Semoga ibukota mampu memerdekakan dirinya dari jerat kemacetan. Amin. 
***
MENGAKHIRI POLEMIK TRANSPORTASI ONLINE
Kota Medan dan Kota Bandung menjadi contoh nyata, bagaimana keberadaan transportasi online menuai polemik, terkhusus bagi pekerja di transportasi yang masih berbasis konvensional. Seperti diberitakan beberapa pekan lalu, Penolakan transportasi online oleh moda transportasi konvensional semakin memanas, pada Rabu 22 Februari 2017. Pengemudi becak motor (betor) menuntut Pemkot Medan menghapus sistem transportasi berbasis online, hingga berbuat nekat melakukan sweeping serta penganiayaan terhadap driver Go-Jek dan Taksi Grab. Seorang pengemudi taksi online misalnya, diserang oleh sejumlah pebecak motor, usai mengantar penumpang di salah satu pusat perbelanjaan di Medan. Tidak hanya penganiayaan, mobil si pengemudi juga dirusak. Hal yang sama juga terjadi di kampus FISIP-USU, Padang Bulan. Adapun di Bandung, Ribuan sopir angkot dan taksi melakukan aksi unjuk rasa di depan Gedung Sate Kota Bandung. Aksi yang dilakukan lewat mogok massal itu dilakukan untuk menuntut dihentikannya ojek dan taksi online yang beroperasi di Bandung.
Lantas, siapakah yang perlu dipersalahkan dalam hal ini? Apakah memang karena keberadaan transportasi online yang merenggut paksa jatah rezeki pekerja transportasi konvensional? Apakah karena salah transportasi konvensional sendiri yang tidak mau memperbaharui diri di zaman serba digital? Yang terpenting, jangan sampai polemik ini menuai korban lagi., dan pemerintah wajib ambil andil untuk memediasi keduanya guna menciptakan kenyamanan memilih transportasi di kalangan masyarakat.
Sampai saat ini, jika merujuk kepada surat izin operasional di Kota Medan, maka transportasi online seperti Go-Jek dan Grab belumlah memiliki izin. Namun, tampaknya permintaan Kepala Dinas Perhubungan Sumatera Utara, Anthony Siahaan kepada masyarakat untuk kembali menggunakan jasa transportasi umum saya kira kurang tepat. Mengapa? Karena masyarakat Kota Medan, sebagian dari mereka sudah merasa nyaman dengan jasa yang diberikan transportasi online (misal Grab Car), apalagi bagi mereka yang golongan menengah ke atas.  Jadi, dalam hal ini segmentasi mereka jelas menurut saya. Namun masalahnya, Go-Jek dan Grab juga menyasar golongan menengah ke bawah,  dengan transaksi yang mudah melalui aplikasi start up sehingga tidak perlu menuju ke suatu pangkalan,  tarif yang cenderung murah dan pasti.
Beberapa alasan masyarakat tergiur memilih menggunakan jasa pelayanan transportasi berbasis online:
1.  Harga yang ditawarkan oleh angkutan umum daring (dalam jaringan) ini membuat konsumen mudah tergiur, serta nyamannya pelayanan transportasi daring yang ditawarkan.
2.   Kemajuan teknologi terlebih soal gadget memang tidak bisa dibendung lagi. Pengusaha muda kreatif berlomba untuk memanfaatkan kemudahan teknologi gadget. Dari situlah mulai muncul beberapa solusi transportasi yang terbiasa carut marut di kota-kota besar.
Alhamdulillah, berbagai aksi damai telah dilakukan baik dari pihak online maupun organda untuk mengakhiri polemik antar-sesama. Sehingga nantinya diharapkan tidak ada lagi ketakutan antara keduanya dalam mengais rezeki. Menjaga perdamaian antar-sesama profesi memanglah mutlak harus diciptakan, sehingga keduanya bisa mencari nafkah sebagaimana biasa. Pihak kepolisian jelas memikul tanggungjawab besar untuk terus menjaga perdamaian keduanya. Semoga usaha ini dapat menciptakan win-win solution antara keduanya.
***
MENANTI GEBRAKAN DUBES BARU
Siang itu di Istana Negara, Presiden resmi melantik 17 Duta Besar RI yang baru untuk ditempatkan di negara sahabat. Pelantikan berlangsung di ruang utama Istana Merdeka, Jakarta, Senin (13 Maret 2017). Proses pelantikan dimulai pukul 14.10 teng kala itu. Sebelum Jokowi memasuki ruangan, para calon duta besar telah berbaris dengan rapi, lengkap dengan setelan jas hitam yang membalut kemeja putih, peci hitam dan sepatu pantofel yang barang tentu sudah disemir, kecuali Esti Andayani, satu-satunya dubes perempuan yang dilantik, ia mengenakan kebaya berwarna merah.
Dalam acara pelantikan itu hadir Ibu Negara Iriana Jokowi, Wakil Presiden HM Jusuf Kalla, dan Ibu Mufidah Jusuf Kalla. Hadir pula beberapa menteri dari Kabinet Kerja, Menko Polhukam Wiranto, Menko Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan, Menteri Sekretaris Negara Pratikno, Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi, serta Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu, Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita, dan beberapa lainnya.
Beberapa pejabat negara serta anggota partai politik juga turut hadir, di antaranya adalah Ketua DPR Setya Novanto, Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah, dan Fadli Zon, Ketua Umum Partai Hanura Oesman Sapta Odang, Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh, dan Kepala BIN Budi Gunawan.
Pelantikan para duta besar ini sesuai dengan Surat Keputusan Presiden RI Nomor 32 P Tahun 2016 dan Nomor 35 P Tahun 2017 tentang Pengangkatan Duta Besar RI, yang ditetapkan pada 10 Maret 2017. Acara pengambilan sumpah dipimpin langsung oleh Bapak Presiden.
"Apakah saudara bersedia untuk dilantik menjadi duta besar?" tanya Jokowi.
"Siap, bersedia," jawab para duta besar mantap.
Acara pelantikan kemudian dilanjutkan dengan pembacaan sumpah yang diucapkan ulang oleh 17 duta besar. Sebelumnya ke-17 duta besar ini telah melewati serangkain proses seleksi dari 23 calon yang diajukan Presiden ke DPR untuk fit and proper test. Usai pengambilan sumpah jabatan, 17 orang duta besar, satu per satu menandatangani berkas acara. Berikut nama 17 duta besar yang dilantik hari ini:
1.      Drs Hasan Kleib, MA, sebagai Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh Republik Indonesia/Wakil Tetap Republik Indonesia pada Perserikatan Bangsa-Bangsa, World Trade Organization (WTO) dan Organisasi-organisasi internasional lainnya yang berkedudukan di Jenewa.
2.      Drs. Priyo Iswanto, MA, sebagai Dubes RI untuk Kolombia di KBRI Bogota.
3.      Mayjen TNI (Purn) Dr. Ir. Arief Rachman, MM, MBA, sebagai Dubes RI untuk Afganistan di KBRI Kabul.
4.      Drs. Rahmat Pramono, MA, sebagai Dubes RI untuk Kazakhstan di KBRI Astana.
5.      Prof. Dr. Ikrar Nusa Bhakti sebagai Duta Besar RI untuk Tunisia di KBRI Tunis.
6.      Drs. Nur Syahrir Rahardjo sebagai Dubes RI untuk Bahrain di KBRI Manama.
7.      Tantowi Yahya sebagai Dubes RI untuk Selandia Baru di KBRI Wellington.
8.      Drs. Darmansjah Djumala, MA, sebagai Dubes RI untuk Austria dan Wakil Tetap RI di PBB berkedudukan di Wina.
9.      Drs. Sahat Sitorus sebagai Dubes RI untuk Timor Leste di KBRI Dili.
10.  Drs. Yohanes Kristiarto Soeryo Legowo sebagai Dubes RI untuk Australia di KBRI Canberra.
11.  Drs. Umar Hadi, MA, sebagai Dubes RI untuk Korea Selatan di KBRI Seoul.
12.  Drs. I Gusti Ngurah Ardiyasa sebagai Dubes RI untuk Sri Lanka merangkap Republik Maladewa di KBRI Kolombo.
13.  Prof. Dr. Yuddy Chrisnandi, ME, sebagai Dubes RI untuk Ukraina merangkap Republik Armenia dan Georgia di KBRI Kiev.
14.  Ir. Arifin Tasrif sebagai Dubes RI untuk Jepang di KBRI Tokyo.
15.  Drs. Andy Rachmianto, Mphil, sebagai Dubes RI untuk Yordania merangkap Palestina di KBRI Amman.
16.  Dra. RA Esti Andayani sebagai Dubes RI untuk Italia di KBRI Roma.
17.  Komjen Pol (Purn) Sjahroedin Zainal Pagaralam, SH, sebagai Dubes RI untuk Kroasia di KBRI Zagreb.
Dari 17 orang yang dilantik, ada nama yang merupakan mantan menteri. Ia adalah Yuddy Chrisnandi yang pernah mengecap jabatan MenPAN-RB. Selain itu, Ikrar Nusa Bhakti, pengamat dari LIPI juga masuk dalam daftar duta besar.
Fungsi Duta Besar RI
Tanggung jawab kesuksesan dalam menjalin hubungan antar-negara itu tidak hanya menjadi tanggung jawab Kemenlu dan Deplu saja, karena membina hubungan yang baik dengan negara lain baik secara politik dan ekonomi mutlak menjadi tanggung jawab mereka yang terpilih. Bukan malah sekadar melancong. Semoga bisa mengemban tugas dengan baik dalam rangka melaksanakan politik luar negeri kita yang bebas aktif baik dari manapun, termasuk Poleksosbudhankam demi mencapai kepentingan-kepentingan nasional.
Terutama dalam usaha dan peranan Indonesia dalam ikut serta melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. “Maka penjajahan diatas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan prikemanusiaan dan prikeadilan” (Pembukaan UUD 1945). Juga dalam hal mengembangkan dan memperkokoh ketahanan nasional, baik dalam hal pangan dan pekerjaan sekalipun. Sehingga, tidak ada lagi masayarakat kita yang terlunta-lunta mencari pekerjaan. Penempatan duta besar ini harus dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk menggalakkan perekonomian tanah air melalui investasi oleh para investor tanpa harus menggerus usaha lokal. Serta kerjasama untuk memberantas perdagangan obat terlarang jalur internasional, human trafficking dan tentunya masih banyak lagi pekerjaan yang lainnya. Kami menunggu gebrakan baru darimu, para dubes yang baru dilantik.

Komentar

Postingan Populer