PEMIMPIN ATAU PENGUASA?
Serupa
tapi tak sama, itulah pemimpin dan penguasa. Pemimpin barang tentu seorang
penguasa, namun penguasa tak bisa disamakan dengan pemimpin. Mengapa demikian?
Tanya kenapa? Marilah kita menjawabnya bersama-sama.
Dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara ini, kita tak pernah terpisahkan dengan yang
namanya pemimpin dan kepemimpinan. Begitu pula halnya dengan penguasa, tidak
sedikit pemimpin di negeri ini bermental penguasa, hingga tak pantas disebut
sebagai pemimpin. Sedangkan pemimpin semakin kecil saja jumlahnya. Miris!
Memang,
menjadi pemimpin dan penguasa tidak mudah caranya. Pastinya mereka telah
melalui berbagai rintangan untuk mengisi IQ dan EQ hingga menjadi orang hebat
seperti sekarang ini. Namun, perbedaan mencolok antara pemimpin dan penguasa
adalah kadar SQ-nya. Pemimpin barang tentu merupakan insan yang bertaqwa dan
memimpin anak buahnya ke jalan yang benar. Adapun penguasa, sangat jauh dengan
yang namanya spiritual dan spirit keagamaan. Mungkin, ini penyebab dari
keyakinannya bahwa kesuksesannya selama ini adalah buah dari bau keringat yang
selama ini menggelutinya dan bukan karena faktor lain.
Pemimpin
yang bertaqwa tentunya mengimplementasikan apa-apa yang didapatkannya dalam
ritual ibadah di kehidupannya sehari-hari, contoh: “Sesungguhnya shalat itu
mencegah perbuatan keji dan mungkar” (Alqur’an). Maka, hasil kepemimpinannya
akan jauh dari perbuatan keji dan mungkar. Ya, walaupun dalam aktivitas kita
sehari-hari sering tampak di pelupuk mata kita, dimana ada orang yang shalatnya
jalan terus namun maksiatnya juga jalan terus. Ini berarti shalatnya yang tidak
berlandaskan khusyuk dan ikhlas dalam pengerjaannya.
Agama
adalah faktor penting perbedaan antara penguasa dan pemimpin. sebagaimana yang
telah kita ketahui, bahwa agama terdiri dari dua kata: A-Gama, yang artinya
tidak kocar-kacir. Dengan adanya agama yang dipeluk oleh pemimpin, maka ia
punya pedoman dan petunjuk dalam menjalankan tanggung-jawab kepemimpinannya.
Pemimpin
tidak hanya handal di sektor peribadatan saja, tapi juga karena agamanya yang
mengangkat derajatnya oleh Allah SWT. Tapi tidak hanya ilmu semata, ilmu sang
pemimpin juga dilandasi diatas rel aqidah dan perjuangan. Sesuai dengan salah
satu kata mahfudzat: ”Innal hayata ‘aqidah wa jihad”
(Sesungguhnya kehidupan itu adalah aqidah dan perjuangan). Sehingga, apapun
yang dikerjakan pemimpin dalam bingkai kepemimpinannya ialah kebahagiaan. “Rabbana atina fiddunya hasanah, wa fil akhirati
hasanah, wa qina ‘adzabannar”. Bahagia di dunia, akhirat, dan dijauhkan
dari api neraka. Kurang apa lagi coba?
Kesemuanya
itu pada ujung-ujungnya bakal menciptakan pemimpin yang berkharisma. Memang,
ada yang mengatakan bahwa kharisma muncul dengan sendirinya sejak kelahiran
seorang anak manusia. Tapi, kebanyakan kharisma yang muncul dengan sendirinya
malah semakin terkikis setiap hari disebabkan oleh rasa ‘ujub yang mulai muncul
di hati setiap anak manusia yang kebanyakan tersanjung mungkin. Sedangkan, kharisma
yang dicari dari suatu proses yang telah disebutkan diatas tadi, menyadarkan
manusia itu untuk tidak mudah melepaskannya sebab sangat susah dulu untuk
mendapatkannya.
Pemimpin
yang berkharisma, bermuammalah dengan
manusia dan Tuhannya, sebab manusia juga merupakan makhluk zoon politicon (makhluk sosial) kata Aristoteles yang tidak mungkin hidup sendiri di bumi yang
luas ini. Pemimpin yang berkharisma dan tak sombong dengan derajatnya itu akan
menjadi The man behind the gun yang
mumpuni nan sukses dalam setiap agenda kepemimpinannya.
Selebih
dari itu, tugas-tugas mendasar seperti Planning,
Organizing, Actuating dan Controling tidak hanya diberatkan kepada bawahan
semata, sebab ini merupakan ciri-ciri seorang penguasa bukan pemimpin. pemimpin
akan turun ke jalan dan melihat apa yang dilakukan oleh bawahannya, memberi
masukan-masukan, reward dan punnishment yang objektif demi kemajuan
badan dan orang-orng yang sedang dipimpinnya. Jika terus seperti ini pemimpin
tidak hanya menjelma sebagai pemimpin tapi juga merangkap sebagai pekerja
sekaligus guru sekaligus murid yang terus belajar dari kesalahan. Sebab,
manusia adalah tempat bermunculnya kesalahan, dan sebaik-baik kesalahan adalah
yang mau bertobat dan berusaha untuk tidak mengulanginya lagi.
Segala
sesuatu diawali dengan niat. Nah, pemimpin kita yang hebat ini telah mengawali
kepemimpinannya dengan niat: “Today must
be better than yesterday, tomorrow must be best than today”. Serta, tidak
lupa intropeksi diri dan mendekatkan diri dengan Allah Tuhannyya. “Berdo’alah
kepada Ku (Allah), niscaya pasti Aku kabulkan” (Alqur’an).[]
Komentar
Posting Komentar