Menolak Gaptek

Memandang masalah gaptek berarti ikut membicarakan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan kita. Sanjung dan pujian untuk mereka yang telah merombak tata kelola UN dari 60% menjadi 40% dalam penentuan seorang siswa lulus atau tidak dalam pendidikan yang ditempuhnya. Dan, guru yang lebih mengenal muridnya kembali memiliki haknya yang hilang dalam meluluskan bukan berdasarkan indikator kepintaran semata, tapi juga berazaskan karakter yang sering dilupakan pendidikan kita jauh-jauh hari sebelumnya.
Tapi, tentunya Revolusi Mental pendidikan kita belum usai. Masih banyak ketimpangan di negeri tut wuri handayani ini. Mungkin karena kita terlalu lalai ber-tut wuri handayani-an (yang di belakang memberikan dorongan), sehingga kita tak sadar sudah mendorong pendidikan kita ke arah yang salah kaprah. Latahnya, kita terperosok ke lubang yang sama dua kali.
Mulai dari kurikulum yang terus berganti seiring dengan suksesi kepemimpinan yang dicanangkan lima tahun sekali. Seolah-olah pendidikan adalah milik pemenang pemilu dan bukan lagi milik bersama. Dengan alasan penyesuaian terhadap perkembangan zaman, orangtua siswa  harus membeli buku baru yang isinya tak jauh berbeda dengan buku lama. Boleh saja kebijakan itu diterapkan agar negeri ini punya gengsi dalam tata-cara penggunaan buku usang. Tapi, pastikan dulu semua siswa bakal mendapatkan jatah buku yang sama. Pun yang terpenting, negeri ini wajib punya platform yang jelas terkait pendidikan tunas mudanya yang tidak mudah digoyang.
Kedua, masalah ijazah palsu yang baru-baru ini terjadi. Menurut Thomas Kuhn, ilmu itu melewati berbagai macam proses hingga terciptanya suatu tatanan ilmu yang sempurna. Namun pertanyaannya, dimana letak posisi selembar ijazah palsu dalam kerangka konsep sebuah ilmu? Ijazah palsu adalah sebuah pengkhianatan tersendiri dalam dunia pendidikan. Ia baik secara langsung maupun tidak langsung telah mencoreng wajah pendidikan kita yang telah terstruktur dan terproseskan.  Oleh karena itu, ijazah palsu mutlak harus diberantas, pelaku dan pembelinya mutlak harus dihukum menurut undang-undang yang berkenaan dengannya. Bukan karena sebuah gengsi butuh waktu lama untuk memperoleh selembar ijazah, tapi karena bahaya laten negeri jika dipimpin oleh orang-orang bermental serba instan.
Ketiga, setiap agama mengajarkan adab. Namun, seakan agama kini telah ditelantarkan dengan adanya pemujaan terhadap ilmu pengetahun. Semuanya harus dilogikakan, selebih dari itu maka harus disingkirkan. Alhasil, boroknya pendidikan kita telah mengeluarkan nanah yang paling busuk. Siswa dan mahasiswa kini kering kehausan akan ilmu agama, hati mereka hampa walau otak mereka penuh dengan torema-teorema. Perzinahan marak terjadi dimana-mana; siswa dengan siswi, kumpul kebo, hamil di luar nikah, transaksi seks antara pengajar dan pelajar menjadi hal lumrah dan biasa. Bahkan ada satu kasus dimana guru men-sodomi murid-muridnya dibawah umur! Dapat kita simpulkan bahwa bukan agama yang tidak bisa menjawab problematika pendidikan kita, tapi karena hal yang paling sakral telah tiba;  telah ditiiadakannya agama dalam pendidikan secara substantif. Apa gunanya ilmu jika tidak membawa kita ke dalam dunia berper-adab-an?

 Berbicara tentang realitas dan prospek pendidikan di Indonesia, tentunya masih ada harapan. Sebab, bangsa kita bukan bangsa yang kacang-kacangan, kita hidup bersama dengan suku, agama, ras, dan antar golongan yang tersebar di seluruh nusantara. Di setiap pulau itu, akan ada pembaharu lahir yang tinggal dididik dan ditempa. Biarkan setiap calon siswa dan mahasiswa itu bercita-cita, dukung kepintaran mereka lewat penerapan TIK dalam metode pembelajarannya. Basmi kegaptek-an yang menjadi musuh mereka. Selipkan pula imtaq dalam jiwa mereka agar teknologi semakin menjadikan manusia Indonesia yang berper-adab-an.

Komentar

Postingan Populer