BERJUANGLAH, KAWAN!
Jempol
dan telunjuk tidak akan pernah sama panjangnya. Tapi mereka bekerjasama, agar
dapat mencengkeram pena. Dan, menorehkan sejarah yang mengharu-biru. Tentang
kekompakan kita; saat yang lain maju dengan telunjuknya, maka yang lain
memberikan jempolnya. Salut bung!
Kutuliskan
puisi itu diatas secarik kertas yang kemudian kubalut dengan sapu tangan.
Kuberikan kenang-kenangan itu kepada temanku yang ditelan kegelapan malam. Ia
pergi jauh meninggalkanku, jauh dibelakangnya. Tapi, aku yakin dia tidak akan
pergi terlalu lama. Dia pergi sebentar saja, untuk kemudian kembali lagi dan
kami berlari bersama-sama, mengejar cita dan mimpi-mimpi kami. Sebab, orang
seperti kami akan mati tanpa mimpi!
Dia
adalah Alfi Rahmat Faisal. Musuh, teman, sekaligus sahabat karibku. Dia adalah partner-ku dalam segala hal. Dia adalah
musuh karena kami kerap beradu argumen dalam segala topik yang kami singgung,
dia adalah teman ketika aku lapar dan dia berubah menjadi koki dadakan, dan dia
adalah sahabat karibku sebab hanya kepadanya lah kutumpahkan apa yang ingin
kutumpahkan, selain kepada Tuhan.
Kini
dia pergi untuk mengikuti program pertukaran pelajar. Aku selalu bangga jika
dia lebih berhasil dariku. Aku selalu berharap setidaknya aku menjadi bagian
dari pergaulan orang-orang besar. Walaupun, mungkin aku orang besar yang
berhati kerdil. Aku tidak lebih berani darinya. Aku menempatkan diriku pada
tataran pengamat yang suka mengamati, sedangkan dia pada level praktisnya. Aku
menobatkan diriku sebagai pelaku term of
reference lewat buku-buku yang aku baca, sedangkan dia mentitahkan dirinya
sebagai term of experience lewat segala
tantangan pengalaman yang dihadapinya. Kami sama-sama pendekar yang mencoba
tegar dan menghadapi segala sesuatunya dengan cara kami masing-masing.
Kini kedua pendekar itu dihadapi
pada persimpangan jalan. Kami sudah dan sedang melewati jembatan penuh onak dan
duri. Kami tidak akan berpisah. Tapi, kami memiliki jalan sendiri. Kami saling
mendukung, walaupun sesekali mengumpat dan mencaci dalam hati. Kami satu tujuan
walau berbeda pandangan dan rupa. Kami memang bukan Soekarno dan Hatta. Tapi,
kami adalah jempol dan telunjuk.
Saat dia pergi aku mendoakan dan
mendukungnya
Saat aku disini dia memancarkan
semangat agar aku mau berlari.[]
Komentar
Posting Komentar