HIKAYAT TETANGGA YANG DIRINDU
Tetanggaku baru saja
mudik ke kampung halamannya di tanah Pasundaan. Ia mengikut sertakan istri
serta kedua anaknya yang masih bocah untuk menunaikan ibadah puasa dan
merayakan lebaran disana.
Lama sudah dia
mengumpulkan uang untuk dapat pulang ke tanah kelahiran. Dia bercerita padaku
bahwa sudah dua tahun ini dia tidak mudik ke kampung. Ia hanyalah seorang
pedagang kerupuk yang harus urung bekerja ketika hujan mengguyur. Tetapi kuakui
semangatnya pantang surut walaupun hujan tak kunjung reda.
Istrinya datang di
kemudian hari untuk mengisi rasa sepi suaminya yang membuncah. Dia mengaku
bahwa ia menikahi bininya ketika berumur 20-an dan bininya itu 18 tahun! Tapi
jujur kukatakan tidak ada sedikitpun kekanak-kanakan pada sifat istrinya.
Beliau sangat dewasa, walaupun kerap bagaikan burung nuri yang terkurung di
sangkar. Ia tetap tabah menunggu kedatangan suaminya.
Menjelang siang, ia
siapkan makan siang untuk suami dan kedua anaknya. Lebih sering tampak di
mataku lauk telur dadar yang dibelah-belah dan kuah indomie yang sering tercium olehku. Tapi lahap sekali mereka
memakannya. Seolah tiada beban di batok kepala keluarga sederhana ini.
Tak pernah pula sang
istri mengeluh dengan kondisi sempit kost yang disewa suaminya. Tak pernah
sekalipun beliau menyerapahi kemiskinan yang dideritanya. Yang kulihat hanyalah
paras jelita yang sedikit kelelahan, sedikit kurus kurang makan, namun senyum
tulus yang menghiasi wajahnya itu tak pernah pudar.
Sepeninggal mereka,
banyak tanaman-tanaman hijau, rindang, jagung, labu, lalapan, petai, cabai,
tomat, pepaya, semangka, serta jengkol yang tidak lagi terawat. Padahal
biasanya taman kami tampak asri jika terkena sentuhan tangan bapak tiga anak
itu.
Masih ada banyak hal
yang kuingat dari keluarga ini, si bapak yang jika bosan tak ada pekerjaan
pasti mencuci motornya yang padahal sudah mengkilat seperti kereta anak muda,
rambut bapak itu yang pendek dan yang panjang hanya jabrik belakangnya, kamar
kos mereka yang dipenuhi stok kerupuk, istrinya yang baru belakangan ini mengenal
mesin penanak nasi, istrinya yang mengisi waktu senggang dengan berdagang
pulsa, anak keduanya Rafa yang baru mendapatkan teman sepermainan namun harus
kembali ditinggalkan. Tadi subuh kudengar anak kecil ini saling
bertangis-tangisan. Anak ketiganya Rasyid yang lahir di kamar mandi kost kecil
itu dengan bapaknya sendiri merangkap bidan. Kini Rasyid baru bisa merangkak.
Ibu Rasyid kerap
memasak makanan diluar kost, karena udara didalam yang sangat panas dan asap
makanan yang akan bertebangan dimana-mana. Ibu Rasyid sering kudapati di pagi
hari sedang menjemur pakaian suami, ia dan anak-anaknya.
Demi adanya sedikit
hiburan di keluarga ini, bapak Rasyid membeli radio kecil milikku untuk
diperdengarkan. Aku mafhum bahwa Ibu Rasyid sangat menyukai lagu-lagu kasidah,
sedangkan bapak Rasyid sangat menggilai lagu dangdut remix yang diputar sembari mencuci kereta kesayangannya.
Keluarga ini juga
sangat alim beribadah. Istrinya merupakan tamatan pesantren, sedangkan suami
kerap aktif di perkumpulan Yaasin
malam jum’at.
Begitulah hikayat
tetanggaku itu yang baru saja berangkat dengan pesawat terbang. Satu pelajaran
yang kudapatkan dari keluarga ini, yaitu “Bersyukurlah, bersabarlah, dan terus
berjuang serta bermanfaatlah bagi yang lain”. Sehingga wajarlah jika kami
merindui mereka kembali.
Komentar
Posting Komentar