KONSUMTIF, SALAH SIAPA?



Baru saja beberapa hari yang lalu, Menteri Sosial Indah Parawansa menganjurkan kepada masyarakat untuk lebih berhemat dalam membeli barang. Yaitu dengan cara membeli yang dibutuhkan saja dan bukan yang diinginkan. Baru saja aku keluar dari kamar kost hendak mencari makan. Biasanya aku makan Pop mie seharga Rp. 4000; untuk menghemat uang yang dikirim bapakku. Namun, kebetulan air untuk kupanaskan habis, dan belum ada yang buka sebab masih akhir pekan. Jadi aku memutuskan untuk membeli nasi di warung.
 Ketika berjalan menggunakan sepeda. Aku melihat di salah satu toko kue, berjejer mobil mewah diparkirkan di halamannya. Kemudian keluar orang-orang besar yang baru menghabiskan akhir pekannya bersama keluarga. Membeli kue-kue yang harganya lumayan itu untuk dibawa pulang ke rumah. Pertanyaannya “Apakah mereka membeli apa yang mereka butuhkan, atau yang mereka inginkan? Atau aku yang syirik?”.
Kemudian kuparkirkan sepedaku di salah satu rumah makan minang. Aku memesan nasi dengan lauk pauk ikan sambal yang banyak tulangnya agar lebih murah. Tapi rasanya yang enak membuatku lupa diri. Aku memang membeli apa yang perutku butuhkan, dan aku terlena dengan kelezatan makan nasi warung! Lantas salahkah aku makan di tengah kondisi ekonomi yang tidak menentu bagi masyarakat ekonomi menengah kebawah. Lantas aku?
Setiap masyarakat membutuhkan kesejahteraan. Namun, Kesejahteraan itu memiliki ukurannya masing-masing. Ia ibarat keadilan. Tidak sama uang jajan anak SD, SMP, SMA, dan kuliah. Uang jajan mereka disesuaikan dengan kondisi yang mereka hadapi. Begitupula masyarakat Indonesia. Mungkin ibu menteri bijak bestari memberi solusi, tapi tetap rakyat yang memilih uangnya untuk diapakan.
Jika pun saya jadi orang kaya nanti. Saya pun tidak mau disalahkan sepeti saya menyalahkan pembeli kue diatas. Toh saya membeli dengan uang hasil kerja keras saya sendiri. Dan untuk dinikmati keluaraga saya dirumah. Lantas dimana salah saya berperilaku konsumtif? Dan soal saya dapat menikmati makan ikan bertulang banyak, adalah karena harganya miring sesuai dengan kantong anak kost.
Jika demikian saya rasa bukan perilaku membeli yang harus kita batas-batasi. Sebab setiap kebutuhan itu berbeda-beda. Tapi yang perlu kita batasi adalah perilaku nrimo apa adanya. Sebab jika mereka bisa lebih konsumtif, mengapa kita betah makan ikan yang banyak tulangnya. Bukankah Tuhan menciptakan manusia sama rata sama rasa?[]

Komentar

Postingan Populer