DENAI PASTI KEMBALI
Tembang Raso Nyao Pulang Ka Badan terus mengalun
merdu di telingaku lewat earphone
yang kukenakan. Walaupun aku bukanlah orang Minang asli, sebab darah Minang
hanya mengalir dari Ayahku. Ayahku asli Minang musabab dilahirkan di Kota Bukit Tinggi, dan Ibu yang akrab
kupanggil Bunda lahir dari trah Jawa.
Namun pada akhirnya tangan Tuhan mempertemukan mereka dalam satu ikatan cinta
nan suci di daerah Suku Batak bernama Kota Pematangsiantar, dimana aku
dilahirkan.
“ Dulu, saat pertama kali berjumpa sama Ayahmu, saat masa
SMA beda kelas dengan Bunda. Ayahmu pendiam dari masa SMA sampai sekarang. Yang
Bunda suka dari Ayahmu sering mengingatkan sholat ke Bunda dan teman-temannya.
Ayah juga gak pernah tinggal
sholatnya,” ujar bundaku kala itu.
Aku
tersenyum simpul saja, jika mengingat kata-kata Bunda itu. Namun, tahukah engkau Bunda? Apa yang sedang dialami buah hatimu di
rantau ini? Pertama, sesaat sampai di Terminal Bus ALS (Antar Lintas
Sumatera) yang kunaiki, uang yang Bunda berikan raib diambil orang. Dan, aku
baru tersadar 500 ribu hilang di kantong sebelah kiri sesampainya aku di Mess.
Kedua,
tujuanku datang di Ranah Minang untuk mengikuti Pelatihan Jurnalistik Tingkat
Nasional ini ternoda. Pasalnya, aku kehilangan sepatu sport merk Nike yang
diberikan oleh Pakde-ku. Sepatu itu terbilang cukup istimewa bagiku karena
diberi cuma-cuma. “ Ini Pakde kasih
sepatu sama Mas Kiki, biar makin semangat belajarnya di kampus ya. Pakde beli ini 1,8 juta dari hasil Pakde
kerja. Dijaga dan dirawat dengan baik ya.”
Jika
aku teringat Pakde memberikan sepatu itu dari hasil jerih payahnya. Seketika
aku malu. Baru saja aku hendak keluar dari kamar, sudah tidak tampak lagi sepatu mahal itu! Dan langsung aku
laporkan ke panitia. Mereka juga
tidak ada yang memakai sepatuku! Gara-gara tragedi naas tersebut, aku benar-benar tidak fokus saat kegiatan seminar
nasional berlangsung. Aku masih memikirkan uang dan sepatuku yang raib entah
kemana. Dan pada akhirnya aku memilih untuk menelepon Bunda.
“
Bun, hari ini kegiatan seminar berjalan baik dan lancar. Cuman semalam uang Maski hilang dicuri orang Bun, jangan marah dulu
ya?“ ungkapku agak sedikit takut.
“
Ya sudah, mungkin itu bukan rezeki Maski, yang hilang biarlah berlalu. Ini
peringatan sama Allah untuk Maski karena kurang bersedekah. Yang terpenting
kabari selalu kami disini. Semangat aja menjalani kegiatannya ya” Jawaban bunda saat itu membuatku luluh dan
ingin menangis saja, bangkit semangatku seketika. Tak kupikirkan lagi uang dan
sepatu yang hilang itu. Ketiga, ini tentang Rina. Tapi.. nanti saja
kuingat-ingat tentangnya. Nanti, nanti saja kukisahkan tentangnya.
Pesawat
Lion air yang kunaiki pun mulai lepas
landas dari lintasannya. Meninggalkan masa lalu, namun seolah masa lalu tak pernah
lalu, dan terus saja berkelindan di pikiranku.
***
Peserta
yang berjumlah 28 orang itu berkumpul dan menunggu sarapan pagi dari panitia.
Momen ini sangat mengasyikkan bagiku. Karena disinilah awal mula jumpaku dengan
Hanif. Jika ada orang yang menyamakan makanan dengan cahaya, maka Hanif lah
orangnya.
“
Teman-teman, cahaya yang dikasih panitia sudah habis nih, bagi yang berlebih bisa transfer
samaku ya!” ujar Hanif polos dengan suara lantang, yang disambut tawa kelakar
seisi ruangan. Untungnya Laila berbaik hati mau memberikan makanan berlebih
kepada manusia pemakan cahaya itu.
Banyak
teman-teman baru yang aku kenal disini. Ibarat diaspora Indonesia, maka kami anak-anak nusantara dari berbagai
provinsi, pada akhirnya berkumpul dan menjadi satu. Dani dari Kota Empek-empek Palembang yang suka melucu,
Chalid dari Tanah Rencong Aceh, si pendiam yang memiliki hobi menangkap segala
peristiwa dan nuansa lewat lensa kaca.
Tak
terasa khayalanku sudah terlalu melambung jauh, jauh ke belakang. Saat aku
mengenal teman-teman yang hebat dan luar biasa itu. Tak terasa, pesawat terus
mengudara menjauhkan aku dari darat jalanan Bukit Tinggi yang mulanya membawaku
kepada segala kenangan di kota dimana adat dijunjung tinggi.
***
Saat kegiatan simulasi dimulai, kami dibagi menjadi 11
kelompok. Dalam 1 kelompok terdiri dari 3 orang LPM (Lembaga Pers Mahasiswa)
berbeda. Aku berada di kelompok 4. Bersama Irma si introvert yang berasal dari Samarinda, Amal Hayati kakak cerewet
yang tak pernah diam. Musala batu adalah target sasaran yang hendak kami tuju.
Kak Teja dan Clara pembimbing kami di jalan. Bermodalkan kamera, trypot, dan makanan secukupnya, kami
memberanikan diri menapaki jalan bebatuan. Medan berat seperti jalanan berbukit
tidak menghalangi bayang-bayang kami tentang seperti apa musala batu itu.
“
Kelompok 4, dibimbing oleh 2 panitia ya, Musala Batu Jabal Rahmah yang kalian
tuju. Disana ada 2 pengurus musala dan itu kalian jadikan narasumber. Sudah
paham?!” ujar seorang panitia.
Karena Menuju lokasi memakan waktu 20-25
menit. Clara selaku panitia menghibur kami dengan bernyanyi. Dengan Clara
bernyanyi, tak sadar ujungnya musala sudah terlihat. Rasa lelah terbayar ketika
langkah kaki kami terhenti tepat di awal gerbangnya.
Tiba-tiba lamunanku tersentak saat Pesawat Lion air yang kami naiki ini mengalami turbulensi udara. Tapi, dari lamunan itu
aku jadi teringat dengan salah satu hasil features
tulisanku yang kubuat pasca pengalaman kami di Musala Batu.
MUSALA
BATU DESTINASI UNIK UNAND
Rizki Mitra Hamdani
Di atas bukit yang tinggi di kawasan Universitas Andalas,
Sumatera Barat. Berdirilah sebuah musala yang terbuat dari batu-batu besar.
Dari segi pembangunannya terbuat dari tumpukan batu yang mirip seperti goa,
terinspirasi dari zaman nabi dahulu.
Musala ini diberi nama Jabal Rahmah.
Diambil dari nama mesjid yang berada di Arab. Awalnya saat pembangunan proyek jalan di daerah Fakultas
Pertanian sudah selesai terealisasi,
batu-batuan besar berlebih, kemudian Dekan Fakultas Pertanian berinisiatif
membangun musala tepat pertengahan Bulan November 2013. Jabal Rahmah berdiri
berkat bantuan dana yang dikumpulkan oleh para alumni fakultas tersebut.
Berdiri 2 tahun silam, Jabal Rahmah menjadi salah satu
destinasi favorit mahasiswa untuk berkunjung atau beribadah. Yang menjadi
halangan ialah akses jalan cukup jauh dan berat untuk dilewati, yaitu memakan
waktu 15-25 menit menuju lokasi, namun musala itu tak pernah sepi pengunjung.
Keunikan berikutnya ialah tempat ini
memiliki arsitektur dan desain dari bebatuan yang ditumpuk menjulang ke atas.
Di bagian mihrab, tumpukan batu disusun sedikit berbeda, tampak seperti bingkai pintu yang ditopang dua
batu yang cukup besar. Sedangkan, di bagian dalam atap musala dicat biru dan
putih, bagaikan corak langit berawan saat kita melihatnya.
Menurut Dedy, salah seorang pengurus musala sekaligus
pegawai di Fakultas Pertanian itu menyatakan, tempat ini rencananya hendak
dijadikan tempat wisata umum, sebab sebelumnya hanya mahasiswa saja yang dapat
menikmati keindahan musala di atas bukit ini. “ Kita ramaikan la musala ini,
bagus juga kan pemandangannya tepat di atas gunung UNAND,” tambahnya
Suasana sejuk langsung terasa, saat
awal langkah kaki menapaki musalla ini, bukan sekedar tempat sembah sujud saja.
Pengunjung juga dapat mengabadikan foto dan beristirahat sambil melihat
pemandangan di sekitar lokasi yang indah, sejuk serta alam yang masih sangat
hijau . Tempat ini sangat bagus untuk dikunjungi dan tak heran menjadi
destinasi unik di Universitas Andalas Kota Padang, Sumatera Barat.
Sedang-sedang
aku membaca lembaran features,
membuatku ingin mengisahkan perempuan yang menjadi faktor ketiga
ketidakberdayaanku pasca kehilangan uang dan sepatu. Sosok perempuan yang aku
labeli sebagai si pemilik senyum manis. Aku kagum akan dirinya, anggunnya
ketika ia berjalan dan paras wajahnya yang terus merona dan berseri.
Pertama
aku melihatnya beserta rombongan panitia saat jamuan makan malam bersama
Walikota Padang. Di saat semua sedang sibuk makan. Aku dan lucky si raja selfie melakukan tingkah konyol dengan
berkeliling ke tiap-tiap meja dan minta foto bersama.
“ Kak, boleh kami selfie
bareng sama-sama panitia disini,” ungkap lucky disaat aku gugup terdiam tak
berkata. Terdiam karena ada seorang perempuan yang kukagumi itu. Maka, jangan
salahkan setiap bidikan kameraku selalu mengarah ke wajahnya, baik dalam format
foto maupun yang ku-videokan. Jika ditanya
untuk apa mengambil gambar ke arahnya? Aku tidak punya jawaban. Jadi, jangan buru-buru mengatakan aku jatuh cinta.
Aku hanya mulai suka, dan bisa saja suka meningkat kepada taraf cinta. Namun,
bukankah cinta lokasi hanya akan menyisakan luka? Ntah lah, aku benar-benar bingung bila ini
benar-benar terjadi.
Kini pesawat telah berada dalam posisi seimbang dan kami
berada ditengah malam, namun diterangi berjuta-juta cahaya cinta dari bumi
manusia. Namun, cahaya cinta itu tidak masuk lagi ke cahaya hatiku yang pilu.
***
Tak
terasa seminggu sudah berlalu, maka waktu yang tak ingin aku untuk
mengakhirinya pun berlaku. Kami beserta rombongan LPM Sumut pulang dengan
pengalaman dan pelajaran yang luar biasa. Dengan tema acara “ Menjajaki Semesta lewat lensa dan kata”
menumbuhkan banyak cerita, banyak kisah, banyak yang tak terduga. Mulai dari berkeliling UNAND
(Universitas Andalas), Sekretariat
Persma Genta Andalas, Pusat Dokumentasi dan Informasi Kebudayaan Minangkabau
(PDIKM), membawa cinderamata yang dapat diperoleh di Pasar Jam Gadang, serta
mengunjungi destinasi Lubang Jepang. Dan banyak hal lainnya yang tak
tersebutkkan satu-persatu.
Namun
momen yang paling kuat berkelebat dalam benakku ialah saat mengunjungi Stadiun
Sepak Bola Hj. Agus Salim Semen Padang dan Mesjid Raya Sumatera Barat. Di dua
tempat itu tak pernah sekalipun kulewatkan untuk menangkap momen bersama Rina.
Foto itu akan aku jaga dan simpan baik-baik dalam dokumentasi pribadiku. Ingin sekali aku mengetahui Rina secara
lebih dalam. Namun, laju pesawat di kelamnya malam hanya semakin memekatkan
niatku ini, dan hanya akan membekas dibelakang jejak yang telah kutinggalkan.
***
Aku masih ingat kala itu saat matahari menenggelamkan
cahayanya, suara angin yang tak terdengar hanya dapat di rasakan berlalu.
Saat-saat malam peserta dan panitia mengakrabkan kami, hanya karena permainan
sederhana bernama Worewolf . Namun aku tidak mengikuti permainan ini
karena salah satu panitia memanggilku membicarakan hal perting berdua saja.
“Mitra,
boleh bicara sebentar, masalah kehilangan sepatu mitra nih.
Kami dari pihak panitia mau membantumu untuk menggantikan sepatumu yang hilang,
tapi gak semahal dan sebagus seperti sepatumu yang hilang ya. Ntar ada dari panitia yang
mengantarkanmu ke toko sepatu yang tidak jauh dari kampus, gimana?” ujar panitia yang mampu meringankan gundah gulanaku pasca
kehilangan uang dan sepatu.
Saat-saat
teman se-LPM ku Hendro mampu mewujudkan impiannya mengunjungi Stadiun Hj. Agus Salim Semen Padang.
“
Abang-abang dan kakak-kakak panitia, sebenarnya selain aku mengikuti Pelatihan
Jurnalistik nasional ini, aku ingin mewujudkan targetku, ajak kami rombongan
anak Medan ke Stadion Sepak Bola Semen Padang laa, diusahakan bisa ya, please
panitia” ungkap Hendro yang memang menggilai Timnas dan berharap Sepak Bola
Indonesia bisa berkembang di kemudian hari.
***
Delegasi
dari Sumatera Utara datang paling awal dan pulang paling akhir. Mungkin karena
kami sudah melekat antara panitia dan peserta. Dan, mungkin juga merupakan
ujianku untuk berpisah dengan Rina. Inilah yang membuatku menyiapkan sebuah
cenderamata sederhana teruntuk si pemilik kelum senyum ini jauh-jauh hari.
Sebuah gantungan kunci berpola rumah gadang dengan tulisan Kimit, kuambil dari nama singkatanku Rizki Mitra. Di dalam hadiah itu kusertakan juga fotoku dibarengi sebuah pesan singkat.
‘Melihat senyumanmu aku sudah bahagia,
meski hanya dari jauh aku melihatnya. Ini
sebuah kenangan foto dan cinderamata untukmu ya Rina.
Dari ku. Semoga bermanfaat. Kimit’
Tanganku
gemetar, hati ini tak normal seperti biasanya ketika berada tepat di
hadapannya. Ku coba langkahkan kakiku mantap dan memberanikan diri untuk
memberikan benda kenangan itu kepadanya.
“ Rina, ini dariku untukmu, semoga bermanfaat
untuk Rina. Doakan kami sampai tujuan, semoga komunikasi kita jangan sampai
terputus disini ya.” kataku Sekenanya dengan seluruh mata panitia dan teman-teman sebagai saksi.
Aku tersipu malu dan lumayan lama memegang tangannya saat itu. Itu pertama dan
untuk terakhir kalinya aku menyentuh tangan halusnya.
“Terima
kasih ya bang. Iya, pasti bang” dia menjawab dibarengi senyuman manis di
wajahnya yang tak pernah pudar.
***
Panitia
dan peserta berpelukan erat seolah tak ingin berpisah. Mereka melepas kami hingga menuju bandara.
Senyum dan mata yang berkaca-kaca menghiasi perpisahan kami. momen yang tidak
akan pernah kulupakan. Never forgotten.
Mungkin,
Rina menjawab pemberianku hanya dengat seulas senyum yang memang tidak pernah
lekang dari bibirnya. Tapi, mengingat-ingat seulas senyum itu memaknakan
sesuatu bagiku, bahwa: Meski, masa-masa indah itu akan segera berakhir.
Perpisahan bukan berarti kita tak bertemu kembali. Dimana ada perjumpaan pasti
ada juga perpisahan, namun bukan berarti
perpisahan membuat kita menghentikan langkah demi langkah untuk memulai
sesuatu.
Akan
kuceritakan kisah ini kepada bundaku tercinta. Agar bunda mengetahui bahwa
faktor kegundah-gulanaanku yang ketiga di kota Padang ini ialah berpisahnya aku
dengan Rina. Akan kutuliskan cerita ini di atas lembaran-lembaran kertas seraya
mengisi waktu di antara deru udara dan pesawat yang saling melaju. Bunda akan
kuceritakan semua pengalamanku ini padamu. Dengan judul “Denai Pasti Kembali”
(Aku Pasti Kembali).
Mungkin dek untuang nan indah ado
Baurak raso jalinan cinto
Kinilah lamo masa balalu
Lah habih lah hilang rindu
Raso
nyawo pulang ka badan
Raso hiduik aruah nan hilang
Walau
barek raso di dado
Lah
den kubuo carito lamo..
Terima
kasih Hanif, Laila, Dani, Chalid, Irma, Clara, Kak Teja, Hendro, Lucky, dan
Rina.. dan kawan-kawan yang lain. Terima kasih untuk lukisan cerita cita dan
cinta yang telah kita lukiskan bersama,
lewat kuas semangat, kanvas rindu, dan cat kebersamaan. Lewat lensa dan kata
kita berkarya..
Di atas langit Padang, 30 November 2015
Komentar
Posting Komentar