SUMUR MENCARI TIMBA

Dosenku itu sebenarnya sudah sangat tua. Bahkan, menurutku dia sudah sangat berumur. Tapi, jangankan dibilang berumur, dia bahkan sangat anti dikatakan tua! Menurutnya, mengutip apa yang dikatakan oleh Henry Ford bahwa “Golongan tua adalah mereka yang tidak belajar”. Maka, sampai saat ini beliau pun masih belajar. Bapak yang sudah menggaet gelar doktor di ilmu komunikasi ini ternyata masih gerah. Dia mencoba masuk ke ranah hukum dengan kembali duduk dibangku kuliah S1 hukum.

Bapak yang bergaya anak muda ini sering diminta untuk mengisi absen saja oleh dosennya yang masih mengambil S2. Tapi, beliau menolak. Bahkan, beliau hadir lebih awal seperti kebanyakan mahasiswa baru. Tujuan utama beliau adalah bukan untuk mendapatkan IPK seperti apa yang menjadi dambaan kebanyakan mahasiswa. Beliau lebih mengutamakan ilmu yang bakal beliau dapatkan. Sebab, menurut beliau masih buta dengan hukum.
Nama dosenku itu adalah Syarifuddin Pohan, abang dari Ramadhan Pohan yang kini berkompetisi merebut kursi Medan-1. Beliau lebih memilih menjadi akademisi saat adiknya memilih menjadi politisi. “Itu semua adalah pilihan,” katanya. Lelaki yang sangat anti dengan belajar secara otodidak ini beralasan, bahwa belajar secara otodidak  menjadikan seseorang itu tidak bertanggung jawab. Sebab, tidak terikat dengan ijazah, institusi negara, dan keintelektualan yang dimilikinya.
Selain dari memperoleh penghasilan dari mengajar. Beliau juga menjabat sebagai anggota Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), yang baru-baru ini diundang oleh Jokowi ke Istana, guna membicarakan sistem penyiaran di Indonesia. Menurutnya konglomerasi media yang dikecam oleh Vincent Moscow berupa ekonomi politik media tidak relevan di Indonesia. Dia menyalahkan negara lewat Komisi A yang tidak memberlakukan sistem free to air didalam UU. Dimana, hanya 19% saja tv yang bisa dijangkau oleh masyarakat seperti TVRI, dan lainnya harus menjadi tv berlangganan, untuk mengurangi dampak buruk yang diakibatkan oleh tayangan televisi.

Bapak yang memiliki keponakan yang merambah ilmu di der panser Jerman ini mengungkapkan, bahwa tv di Indonesia lebih mendahulukan rating popularitas, bukannya kualitas tayangan. “Ya, wajarlah, namanya swasta!” serunya. Beliau selalu menyatakan kepada mahasiswanya bahwa urgensi pengetahuan bukanlah teknologi. Tapi, kapasitas mahasiswa itu sendiri. “Sumur selalu mencari timba,” kelakarnya bangga.[]  

Komentar

Postingan Populer