CERITA DARI PERTANIAN KITA
Kata
“Pertanian” sudah ada sejak era Nabi Adam AS. Hal itu ditandai dengan penyerahan
yang dilakukan kedua anaknya, Qabil dan Habil. Kala itu, Qabil yang tidak
terima dengan titah ayahnya untuk menikahi Labuda, menyerahkan hasil pertanian
yang buruk kondisinya. Sedangkan Habil menyerahkan hewan ternak yang bagus
fisiknya. Dalam ilmu pertanian, hewan termasuk kedalam definisi pertanian
secara luas. Alhasil, Allah tetap menerima penyerahan yang dilakukan oleh Habil
dan tidak Qabil. Pernikahan silang tetap dilakukan, Qabil dengan Labuda dan
Habil dengan Iqlima yang rupawan, yang notabene adik Qabil. Qabil yang tetap
tidak terima akhirnya melakukan pembunuhan pertama di dunia, dengan membunuh
adiknya Habil.
Pada
masa kejayaan Islam sekitar abad ke 6 Hijriah, pertanian tetap menjadi sektor
unggulan untuk memenuhi tuntutan pangan masyarakatnya. Bahkan pada abad itu,
Islam telah melahirkan beberapa ilmuwan di bidang pertanian, dengan berbagai
karya monumentalnya di sekitaran jazirah Arab kala itu.
Hingga
wajar, jika pertanian selalu indentik dengan upaya konservasi terhadap
lingkungan. Dengan melakukan pertanian, masyarakat mengetahui mana tanah yang
baik dan mana tanah yang buruk untuk bercocok taman. Dan didalam nash al-Qur’an
pun Allah berfirman, yang dari firman itu menyiratkan bahwa Islam sangat
memperhatikan sektor pertanian: “Dan suatu
tanda (kebesaran Allah) bagi mereka adalah bumi yang mati (tandus). Kami
hidupkan bumi itu dan Kami keluarkan darinya biji-bijian, maka dari
(biji-bijian) itu mereka makan” (QS. Ya Sin: 33).
Atau
di ayat selanjutnya “Dan kami jadikan
padanya di bumi itu kebun-kebun kurma dan anggur dan kami pancarkan padanya
beberapa mata air, agar mereka dapat makan dari buahnya, dan dari hasil usaha
tangan mereka. Maka mengapa mereka tidak bersyukur?” (QS. Ya Sin:
34-35).
Dalam
kata mutiara Arab, petani selalu diibaratkan sebagai pemimpin negeri (Al-falahu sayyidul bilad). Namun, di
Indonesia sendiri kata “petani” selalu identik dengan cangkul, topi jerami dan
bergulat dengan lumpur di sawah atau ladang, bekerja mulai dari subuh, dan
siap-siap dibakar panas terik mentari. Hingga, salah satu pekerjaan yang
dianggap rendahan ini semakin ditinggalkan pemuda yang merasa modern.
Banyak
pemuda yang lebih memilih bercita-cita menjadi dokter, ekonom, ataupun tamatan
sarjana hukum. Alhasil, petani gurem tetaplah petani gurem yang disela-sela
pekerjaannya kerap dibohongi oleh “petani berdasi” dan tengkulak-tengkulak yang
meraup untung atas kerja keras keringat mereka. Padahal jika generasi muda mau,
mereka tidak harus menjadi petani gurem. Mereka cukup menjadi sarjana pertanian,
menjadi petani berdasi yang akan memberantas tengkulak dan menyejahterakan kaum
petani. Kita perlu ingat, bahwa beras, buah, sayur-mayur adalah hasil perah
keringat dari petani.
Parahnya
lagi, Indonesia yang menjadi idaman orang-orang untuk bercocok tanam tidak
menjadi jawara di bidang pertanian. Tampaknya, menjadi negeri yang kaya akan
SDA tidak berbanding lurus dengan predikat yang didapatnya. Bayangkan saja,
peringkat satu di sektor pertanian dipegang oleh Negara Matahari Terbit Jepang.
Padahal Jepang tidak memiliki lahan yang cukup untuk bertani, dengan luas
negara mereka yang memang kecil. Tapi, dengan teknologi dan SDM yang mereka
miliki, mereka mampu menutupi kelemahannya.
Peringkat
kedua dipegang oleh negara para Meneer
Belanda. Bahkan negeri ini didaulat sebagai negeri dengan hasil holtikultura
(buah-buahan dan bunga) terbaik. Padahal, luasnya tak lebih dari 1% luas
Indonesia. Peringkat ketiga ditempati oleh Amerika. Negara yang menjadi
tauladan demokrasi dunia ini, bahkan juga menanam padi. Padahal, penduduknya
mengkonsumsi roti atau sereal yang berasal dari gandum. 40% dari hasil padi itu
diekspor. Sedangkan peringkat keempat diduduki oleh Australia. Lantas, dimana
Indonesia? Sejarah lama menunjukkan bahwa kita pernah menjadi pengekspor beras
era orde baru, bahkan pernah ber-swasembada beras kala itu. Apakah hal itu akan
terulang? Mari kita tanyakan kepada petani, padi, dan terkhusus generasi muda
kita yang tidak lagi mencintai hasil pertaniannya.[]
Komentar
Posting Komentar